purchase books written by me.

purchase books written by me.
harga buku Rp. 21.000,- atau US$ 7.00

Sunday, July 31, 2016

SUNAT PEREMPUAN WAJIB DLM ISLAM (RITUAL BARBAR)

SUNAT PEREMPUAN WAJIB DLM ISLAM (RITUAL BARBAR)


Hai muslim, coba tanya ibumu,
dan adik/kakakmu perempuan 
apakah mereka sudah sunat?
Apakah istri anda sudah sunat? 
Atau 
apakah anda tidak akan 
menyunatkan anak perempuan anda?
Awas kalo tidak sunat, dosa lhoooo...







Khitan Wanita

Wajib dlm Islam





Sunat atau Khitan Wajib
Menurut WHO, "sunat wanita biasanya dilakukan oleh para pelaku adat dgn instrumen-instrumen kasar spt pisau, silet dan bahkan PECAHAN GELAS, biasanya tanpa anastetik." Malah ada yg disunat saat baru lahir atau kebanyakan diantara usia 4 & 12.

WHO melaporkan:
Komplikasi yg diakibatkan sunat wanita ini adalah: rasa sakit yg luar biasa, shock, hemorrhage, urine retention, ulceration of the genital region & luka-lika pada bagian-bagian tubuh sekitarnya. Hemorrhage & infection mengakibatkan kematian. Komplikasi jangka panjang termasuk cysts & abscesses, keloid scar formation, damage to the urethra resulting in urinary incontinence, dyspareunia (painful sexual intercourse), sexual dysfunction, urinary tract infection, infertility and childbirth complications.


Mengapa Moslem mempraktekkan adat barbar ini? Utk mengontrol nafsu seksual sang wanita, agar keperawanannya tetap terjaga. Sekitar 100 - 150 juta Muslimah telah mengalami praktek barbar ini. Para pakar Islam sendiri setuju bahwa Muhammad sendiri menyepakati praktek ini. Lihat 'Reliance of the Traveler,' (Umdat AL Salik) atau kumpulan hukum Islam, yg mengatakan bahwa "sunat wajib bagi lelaki maupun wanita." 

Ketika Kementerian Kesehatan Mesir melarang sunat tehrdp wanita pd thn 1995, Sheikh Yussuf el-Badry (tokoh terkemuka Islam), menyeret Kementerian itu ke pengadilan. Larangan itu kemudian dibatalkan dan dianggap sbg kemenangan bagi Islam. 

Karena gadis-gadis kecil ini disunat, mereka mengalami SAKIT LUAR BIASA saat mereka menikah (bisa saja dgn lelaki yg jauh lebih tua). Di Mesir, kamar-kamar pasangan baru nikah khusus dibangun diluar masyarakat mereka AGAR JERITAN PENGANTIN TIDAK TERDENGAR.


Kasus terkenal : Fauziya Kassindja, Muslimah dari Afrika Barat diberikan suaka di AS demi menghindari sunat wajib ini. Klik-Link

Banyak Muslim di Barat MALUUUU dgn fenomena ini dan megnatakan bahwa khitan perempuan (Female Genital Mutilation) bukan produk Islami. Ternyata ketahuan bo'ong nih yeee....

hasil-muktamar-nu-ke-32-anak-usia-6-tahun-boleh-menikah-t38069/

Komisi Maudluliyyah yang membahas masalah-masalah tematik menyerukan khitan (sunat) bagi perempuan, karena didukung sejumlah dalil yang menguatkan bahwa khitan tersebut hukumnya dapat menjadi sunnah atau wajib.
“Khitan mar’ah (perempuan) ini, dianjurkan dalam ajaran Islam, sehingga hukumnya bisa jadi sunnah bisa jadi wajib karena didukung hukum yang kuat,” kata tim Komisi Maudluiyyah Dr M Masyuri Naim. KLIK-LINK


SHEIK YUSUF AL QARADAWI (TOKOH UNIVERSITAS AL AZHAR DI KAIRO), pendapatnya ttg sunat wanita (Female Circumcision):
While stating that female circumcision (FGM) is "not required" in his book, Modern Fatwas", he adds: "whoever finds it serving the interest of his daughters should do it, and I personally support this under the current circumstances in the modern world."

TERJEMAHAN:
Dlm bukunya,' Fatwa-fatwa Modern,' ia mengatakan bahwa walau sunat wanita tidak wajib, "siapapun akan berpendapat bahwa ini adalah demi kepentingan puteri-putrinya harus melakukannya dan saya sendiri mendukungnya, mengingat keadaan di dunia modern."

Respon seorang muslim bernama Faruq:

tetapi ada dampak yg lebih hebat lagi yg di timbulkan akibat tidak dilakukan sunat pada wanita....faktanya di negara yang mayoritas penduduknya tidak mengkhitan wanita memiliki tingkat sex bebas tinggi dan tingkat perselingkuhan yg tinggi....
setiap sesuatu ada manfaatnya dan mudharatnya... jika mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya maka hal itu lebih baik ditinggalkan...
sama seperti anggur/minuman keras, tidak disangkal ada manfaatnya tetapi karena mudharatnya lebih besar... maka hal itu lebih baik ditinggalkan karena faktanya banyak sekali kejahatan yang ditimbulkan akibat pengaruh minuman keras.
Analoginya ibarat memelihara ayam di dalam rumah... mengaharap telur didapat akan tetapi faktanya lebih banyak kotoran yang didapat...


Tanggapan netter non-muslim:

Muslim satu ini (faruq) benar-benar sudah kerasukan islam stadium akhir. 
Respek terhadap wanita sama sekali tidak ada, benar-benar cermin ajaran islam yang sejati. Hati nuraninya sudah mati tatkala melihat kesadisan yang menimpa para muslimah yg disilet kelaminnya dengan cara yang sangat primitif.
Ckckckckkk... Benar-benar islami..!!
# Apa hubungannya wanita disunat ama selingkuh?!? Istri lo meski da disunat ... kalo lo ga bisa nyayangi dia secara JATBP.. ya bakalan selingkuh juga, bahlul.
# Muslim gendeng.....gak punya hati nurani,,,,apa ente gk pernah tau penderitaan yg harus mereka alami akibat ritual primitf ala islam ini? brp banyak wanita yg harus tersiksa akibat prktek bejad ini? apa ente pernah baca penderitaan berupa rasa sakit yg mereka alami selma berhubungan seks dgn suami mereka? tidak ada keadilan disini tau? si suami menikmati hubungan seks tapi si isteri harus tersiksa setiap kali penetrasi. apakah ini yg disebut dgn keadilan ala islami? Memuakkan!


Inilah metode dari sunat pada wanita yang hingga kini masih diberlakukan beberapa masyarakat Islam di beberapa negara.


 Inilah hasil dari TYPE III metode sunat wanita tersebut:
http://www.2shared.com/photo/4jHYdc9G/SUNAT_WANITA.html




 



Permenkes Sunat Perempuan
Diminta Dicabut

Tradisi sunat perempuan di banyak negara sudah mulai dihapus. Kini giliran aktivis perempuan Indonesia yang mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang sunat perempuan. Praktik ini dinilai melanggar hak reproduksi dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri untuk menyehatkan perempuan.

Tuntutan tersebut disampaikan bersama-sama oleh sejumlah LSM yang peduli terhadap perempuan di antaranya LBH Apik, Komnas Perempuan dan Amnesty Internasional dalam jumpa pers mengenai tuntutan pencabutan Permenkes soal sunat perempuan di Bakoel Koffie, Cikini, Kamis (23/6/2011).

Ratna Bantara Murti, M.Si dari LBH Apik mengatakan Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan perlu dicabut karena rawan pelanggaran hak-hak perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan disunat saat masih kecil ketika belum bisa menentukan pilihan sendiri.

Padahal dilihat dari sudut pandang manapun, Ratna menilai sunat perempuan tidak memberikan manfaat apa-apa. Agama hanya mewajibkan sunat untuk laki-laki, sementara dari aspek medis sunat perempuan justru berisiko memicu infeksi pada organ reproduksi.

Adanya Permenkes Sunat Perempuan sebenarnya bertujuan untuk melindungi perempuan dari sunat ilegal yang membahayakan jiwa dan sistem reproduksinya. Namun menurut Ratna, peraturan itu justru melegalkan sunat perempuan dan dikhawatirkan makin melestarikan praktik-praktik semacam itu.

Melalui Dirjen Bina Kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pernah melarang medikalisasi sunat perempuan. Sementara dalam Permenkes tersebut, sunat Perempuan justru diatur sedemikian detail mulai dari prosedur dan teknik penyayatan hingga bagian yang boleh disayat.

"Kita ini satu-satunya lho, negara yang mengatur sunat perempuan sampai sedetail itu dengan prosedurnya dan segala macam," ungkap Ratna saat dihubungi detikHealth, Kamis (23/6/2011).

Beberapa poin yang diatur dalam Permenkes No 1636/2010 tentang Sunat Perempuan antara lain sebagai berikut:

1.Sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang memiliki izin kerja. Sebisa mungkin, tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin perempuan.
2.Bagian yang dipotong tidak boleh sembarangan, bahkan sebenarnya tidak ada bagian dari alat kelamin perempuan yang boleh dipotong. Sunat yang diizinkan hanya berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris (frenulum klitoris).
3.Sunat perempuan tidak boleh dilakukan dengan cara mengkaterisasi atau membakar klitoris (bagian mirip kacang yang paling sensitif terhadap rangsang seksual, dalam Bahasa Indonesia disebut juga klentit). Goresan juga tidak boleh melukai atau merusak klitoris, apalagi memotong seluruhnya.
4.Bagian lain yang tidak boleh dirusak atau dilukai dalam sunat perempuan adalah bibir dalam (labia minora) maupun bibir luar (labia mayora) pada alat kelamin perempuan. Hymen atau selaput dara juga termasuk bagian yang tidak boleh dirusak dalam prosedur sunat perempuan.
5.Sunat perempuan hanya boleh dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang bersangkutan dengan izin dari orangtua atau walinya. Petugas yang menyunat juga wajib menginformasikan kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. – Sumber: Klik-Link






SUNAT WANITA
DI INDONESIA

Dari Berita New York Times


When a girl is taken — usually by her mother — to a free circumcision event held each spring in BandungIndonesia, she is handed over to a small group of women who, swiftly and yet with apparent affection, cut off a small piece of her genitals. Sponsored by the Assalaam Foundation, an Islamic educational and social-services organization, circumcisions take place in a prayer center or an emptied-out elementary-school classroom where desks are pushed together and covered with sheets and a pillow to serve as makeshift beds. The procedure takes several minutes. There is little blood involved. Afterward, the girl’s genital area is swabbed with the antiseptic Betadine. She is then helped back into her underwear and returned to a waiting area, where she’s given a small, celebratory gift — some fruit or a donated piece of clothing — and offered a cup of milk for refreshment. She has now joined a quiet majority in Indonesia, where, according to a 2003 study by the Population Council, an international research group, 96 percent of families surveyed reported that their daughters had undergone some form of circumcision by the time they reached 14.
These photos were taken in April 2006, at the foundation’s annual mass circumcision, which is free and open to the public and held during the lunar month marking the birth of the prophet Muhammad. The Assalaam Foundation runs several schools and a mosque in Bandung, Indonesia’s third-largest city and the capital of West Java. The photographer Stephanie Sinclair was taken to the circumcision event by a reproductive-health observer from Jakarta and allowed to spend several hours there. Over the course of that Sunday morning, more than 200 girls were circumcised, many of them appearing to be under the age of 5. Meanwhile, in a nearby building, more than 100 boys underwent a traditional circumcision as well.


 


According to Lukman Hakim, the foundation’s chairman of social services, there are three “benefits” to circumcising girls. 
 
“One, it will stabilize her libido,” he said through an interpreter. “Two, it will make a woman look more beautiful in the eyes of her husband. And three, it will balance her psychology.”
 
Female genital cutting — commonly identified among international human rights groups as female genital mutilation — has been outlawed in 15 African countries. Many industrialized countries also have similar laws. Both France and the U.S. have prosecuted immigrant residents for performing female circumcisions. 
 
In Indonesia, home to the world’s largest Muslim population, a debate over whether to ban female circumcision is in its early stages. The Ministry of Health has issued a decree forbidding medical personnel to practice it, but the decree which has yet to be backed by legislation does not affect traditional circumcisers and birth attendants, who are thought to do most female circumcisions. Many agree that a full ban is unlikely without strong support from the country’s religious leaders. According to the Population Council study, many Indonesians view circumcision for boys and girls as a religious duty. 
 
Female circumcision in Indonesia is reported to be less extreme than the kind practiced in other parts of the globe — Africa, particularly. Worldwide, female genital cutting affects up to 140 million women and girls in varying degrees of severity, according to estimates from the World Health Organization. The most common form of female genital cutting, representing about 80 percent of cases around the world, includes the excision of the clitoris and the labia minora. A more extreme version of the practice, known as Pharaonic circumcision or infibulation, accounts for 15 percent of cases globally and involves the removal of all external genitalia and a stitching up of the vaginal opening. 
 
Studies have shown that in some parts of Indonesia, female circumcision is more ritualistic — a rite of passage meant to purify the genitals and bestow gender identity on a female child — with a practitioner rubbing turmeric on the genitals or pricking the clitoris once with a needle to draw a symbolic drop of blood. In other instances, the procedure is more invasive, involving what WHO classifies as “Type I” female genital mutilation, defined as excision of the clitoral hood, called the prepuce, with or without incision of the clitoris itself. The Population Council’s 2003 study said that 82 percent of Indonesian mothers who witnessed their daughters’ circumcision reported that it involved “cutting.” The women most often identified the clitoris as the affected body part. The amount of flesh removed, if any, was alternately described by circumcisers as being the size of a quarter-grain of rice, a guava seed, a bean, the tip of a leaf, the head of a needle. 
 
At the Assalaam Foundation, traditional circumcisers say they learn the practice from other women during several years of apprenticing. Siti Rukasitta, who has been a circumciser at the foundation for 20 years, said through an interpreter that they use a small pair of sterilized scissors to cut a piece of the clitoral prepuce about the size of a nail clipping. Population Council observers who visited the event before the 2003 study, however, reported that they also witnessed some cases of circumcisers cutting the clitoris itself. 
 
Any distinction between injuring the clitoris or the clitoral hood is irrelevant, says Laura Guarenti, an obstetrician and WHO’s medical officer for child and maternal health in Jakarta. “The fact is there is absolutely no medical value in circumcising girls,” she says. “It is 100 percent the wrong thing to be doing.” The circumcision of boys, she adds, has demonstrated health benefits, namely reduced risk of infection and some protection against H.I.V. 
 
Nonetheless, as Western awareness of female genital cutting has grown, anthropologists, policy makers and health officials have warned against blindly judging those who practice it, saying that progress is best made by working with local leaders and opinion-makers to gradually shift the public discussion of female circumcision from what it’s believed to bestow upon a girl toward what it takes away. “These mothers believe they are doing something good for their children,” Guarenti, a native of Italy, told me. “For our culture that is not easily understandable. To judge them harshly is to isolate them. You cannot make change that way.”  klik New York Times

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...