“Menghormati iman orang-orang percaya yang tulus seharusnya tidak menyebabkan investigasi yang dilakukan para ahli sejarah dilarang atau dibelokkan….Seseorang harus mempertahankan hak-hak metodologi dasar sejarah.”
- Maxime Rodhinson, 1981; p. 57
(Photo Source: Wikipedia, 2009)
Foto salah satu perkamen Sana’a Qur’an dari Gerd R Puin’s, memperlihatkan lapisan revisi yang dilakukan terhadap Quran
Seringkali orang-orang Muslim mengatakan bahwa baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru telah dikorupsi dan diubah secara serius. Mereka katakan, supaya sebuah Kitab Suci bisa dikatakan sebagai otoritatif, maka ia harus dipelihara tetap tanpa perubahan sama sekali, dan menunjuk pada Qur’an mereka sebagai kitab suci yang diwahyukan kata demi kata dan surat demi surat kepada Muhamamad oleh Allah. Quran mengklaim, “Tidak boleh ada perubahan dalam firman-firman Allah” (10:64), dan ”Tidak ada yang bisa merubah kata-kata (dan peraturan) Allah” (6:34).
Tetapi betapa anehnya ‘doktrin pembatalan’ ini, dimana wahyu-wahyu yang datang kemudian membatalkan wahyu-wahyu terdahulu, sebagaimana Quran (2:106) menegaskan, ”Wahyu-wahyu…..Kami membatalkan/mencabut atau menyebabkan untuk dilupakan.” Juga, sebuah Hadis (6:558) dari Sahih Bukhari menegaskan bahwa Muhammad melupakan banyak ayat. Disamping itu, Sunaan ibn Majah (3: 1944) mencatat bahwa setelah kematian Muhammad, sejumlah wahyu dimakan oleh seekor kambing. Bagaimana kata-kata Ilahi bisa dimakan, diubah, dibatalkan atau dihapuskan, meskipun ada klaim dari Allah dalam Sura 10:64 dan 6:43?
Tidakkah semua klaim-klaim dari Allah ini berkontradiksi dengan diriNya sendiri? Tetapi ajaibnya; kenyataan ini sama sekali tidak mengganggu pemikiran orang-orang Muslim. Barangkali, jika kita bisa menghadirkan Quran lain yang “otentik”, dan yang berbeda dengan bentuk standar Quran yang ada saat ini, maka Muslim akan mulai menggunakan logika mereka.
Kebenaran yang sangat menghancurkan adalah bahwa sejumlah besar naskah-naskah kuno, berasal dari abad pertama Hijrah ditemukan di Mesjid Agung di Sana’a (Yaman), yang secara signifikan berbeda dengan Quran standar yang ada sekarang. Sistem penanggalan dengan menggunakan Carbon meyakini bahwa naskah-naskah Quran ini tidak dibuat oleh lawan-lawan keagamaan. Disamping itu, naskah-naskah Quran ini ditemukan oleh orang-orang Muslim sendiri, bukan oleh orang-orang kafir.
Barangkali inilah peristiwa yang paling memalukan dalam sejarah Islam yang sudah berlangsung selama 14 Abad.
Mesjid Agung Sana’a adalah salah satu Mesjid tertua dalam sejarah Islam. Gedung ini dibangun pada tahun 6 Hijrah ketika Muhammad mempercayakan salah seorang dari teman-temannya untuk membangun sebuah Mesjid di Yaman, yang diperluas dan diperbesar oleh para pemimpin Islam dari masa ke masa.
Pada tahun 1972, ketika berlangsung restorasi Mesjid Agung ini (hujan deras menyebabkan dinding bagian Barat Mesjid ini rubuh), para tukang yang bekerja dalam sebuah ruangan mahkota diantara struktur bagian dalam dan atap bagian luar, menemukan sebuah kuburan yang menakjubkan, yang pada saat itu, karena ketidaktahuan mereka, mereka tidak menyadari apa yang ada di situ. Biasanya mesjid tidak mengakomodasi kuburan, dan situs ini juga tidak berisi batu nisan, tidak ada sisa-sisa tubuh/tulang manusia dan juga tidak ada barang-barang peninggalan dari pemakaman. Tak ada benda lain di dalamnya kecuali perkamen tua dan dokumen-dokumen surat yang jumlahnya sangat banyak. Juga di dalamnya ditemukan buku-buku yang sudah rusak dan halaman-halaman teks individual dalam bahasa Arab, yang sudah lebur menjadi satu oleh karena hujan dan kelembaban selama lebih dari seribu tahun.
(Sumber foto: Dreibholz, 1999, p. 23)
Sejumlah fragmen-fragmen perkamen Qur’anik dalam kondisi ketika mereka ditemukan
Para tukang yang tidak mengerti itu kemudian mengumpulkan naskah-naskah tersebut, memasukkannya dengan sembrono ke dalam 20 karung kentang, dan meletakkannya pada tangga di salah satu menara Mesjid, dimana naskah-naskah itu pun kemudian dikunci di situ. Naskah-naskah itu akan kembali dilupakan, jika bukan karena Qadhi Isma’il al-Akwa, Presiden Otoritas Barang-Barang Antik Yaman, yang di kemudian hari menyadari pentingnya penemuan itu. Al-Akwa mencari pertolongan dari dunia Internasional untuk menguji dan mengawetkan fragmen-fragmen itu, sebab tidak ada seorang pun sarjana di negaranya yang sanggup mengerjakan penemuan yang sangat kaya seperti ini. Pada tahun 1997, ia menerima kunjungan dari seorang sarjana Jerman non-Muslim. Orang ini lalu membujuk pemerintah Jerman untuk mengorganisir dan menjalankan sebuah proyek restorasi.
Segera setelah proyek itu dimulai, menjadi jelaslah bahwa “kuburan kertas” itu adalah sebuah tempat untuk menyimpan puluhan ribu fragmen-fragmen dari hampir seribu naskah-naskah kuno Quran, kitab suci Muslim. Otoritas Muslim pada masa-masa awal Islam menganjurkan agar kopian-kopian Quran yang telah rusak disingkirkan dari peredaran dan hanya mengijinkan edisi-edisi kitab suci yang masih baik untuk dipakai. Juga tempat yang aman seperti itu dibutuhkan untuk melindungi kitab-kitab itu dari kebakaran atau kehancuran jika para penyerang datang, dan di sinilah kemudian muncul ide untuk menyimpannya di sebuah ‘kuburan’ dalam Mesjid Agung di Sana’a, yang pada waktu itu merupakan tempat untuk mempelajari Quran. Hal ini sudah berlangsung sejak abad pertama Hijrah.
Restorasi naskah-naskah itu diorganisir dan diawasi oleh Gerd R. Puin dari Saarland University, di Jerman. Puin adalah seorang spesialis terkemuka dalam bidang kaligrafi Arabik (studi mengenai tulisan tangan indah dan artistik), dan merupakan seorang paleografi (studi mengenai dokumen-dokumen dan tulisan kuno) Qur’anik. Selama sepuluh tahun ia secara ekstensif menguji fragmen-fragmen perkamen yang berharga itu. Tahun 1985, rekannya H. C. Graf V. Bothmer bergabung dengannya.
Tes-tes Carbon-14 menunjukkan bahwa sejumlah perkamen itu berasal dari tahun 645-690 AD. Tahun pembuatan mereka yang sebenarnya bisa jadi lebih dini lagi, karena C-14 memperkirakan tahun kematian dari sebuah organisme (perkamen adalah kulit binatang), dan proses itu hingga penulisan akhir pada perkamen mencakup waktu yang tidak bisa diketahui. Tanggal penulisan kaligrafi menunjukkan tahun 710-715 AD. Beberapa perkamen kelihatannya berasal dari abad ke tujuh dan ke sembilan, dan karena itu bisa disebut sebagai Qur’an tertua yang ada saat ini.
Pada tahun 1984, Rumah Naskah (Dar al Makhtutat) didirikan di dekat Mesjid Agung, sebagai bagian dari proyek kerjasama antara otoritas Yaman dan Jerman. Sebuah usaha keras yang sangat besar dimulai untuk merestorasi fragmen-fragmen Qur’anik. Antara tahun 1983 dan 1996, kira-kira 15.000 dari 40.000 halaman telah selesai direstorasi, khususnya 12.000 fragmen-fragmen pada perkamen dan naskah-naskah yang berasal dari abad ke tujuh dan sembilan.
(Sumber Foto: Dreibholz, 1999. p. 22)
Perpustakaan Dar al-Makhtutat dimana disimpan Naskah-Naskah dan katalog yang baru ditemukan
Hingga saat ini, hanya ada tiga kopian kuno Qur’an yang ditemukan. Yang pertama disimpan di Perpustakaan Inggris di London, berasal dari akhir abad ke tujuh dan dianggap sebagai yang paling tua. Tetapi naskah-naskah Sana’a bahkan usianya lebih tua. Lebih dari itu, naskah-naskah ini ditulis dengan huruf yang aslinya berasal dari Hijaz – wilayah Arabia dimana Nabi Muhammad hidup, yang membuatnya tidak hanya sebagai naskah tertua yang berhasil selamat, tetapi kopian otentik Qur’an yang paling tua. Arabik Hijazi adalah tulisan (Mekkah atau Medinah), dan Qur’an mula-mula ditulis dengan huruf ini. Meskipun potongan-potongan ini berasal dari Qur’an paling awal yang pernah ada, mereka juga merupakan palimpsests (naskah-naskah dengan tulisan asli yang telah dipakai ulang).
Gaya tulisan tangan yang indah dan artistik dan jarang dipakai menjadi hal yang menarik perhatian Puin dan temannya Bothmer, tetapi hal yang lebih mengejutkan lagi menanti mereka. Ketika naskah Qur’an ini diperbandingkan dengan naskah Qur’an standard yang ada saat ini, kedua orang ini menjadi terheran-heran. Teks-teks kuno yang ditemukan ini sangat berbeda dengan naskah yang ada sekarang, dan hal ini benar-benar mengganggu. Di sini terdapat ayat-ayat yang disusun secara tidak konvensional, variasi-variasi tekstual yang sedikit namun signifikan, ortografi (pengejaan) yang berbeda dan perbedaan pada pembubuhan (dekorasi) artistik.
Hal ini benar-benar menghantam keyakinan orang-orang Muslim ortodoks bahwa Qur’an yang ada hari ini dapat dikatakan sebagai Firman Allah yang “sempurna, kekal sepanjang masa dan tidak berubah.” Dengan penemuan naskah ini berarti Qur’an telah didistorsi, dinodai, direvisi, dimodifikasi dan dikoreksi, dan perubahan tekstual secara murni telah terjadi selama bertahun-tahun oleh tangan-tangan manusia.
Aura kesakralan disekeliling Kitab Suci Islam ini, yang masih utuh selama lebih dari 14 abad lamanya, menjadi hilang dengan penemuan yang mencengangkan ini, dan keyakinan inti dari semilyar lebih orang-orang Muslim yang meyakini bahwa Qur’an itu kekal, firman Allah yang tidak bisa berubah sekarang tampak jelas hanya sebagai sebuah kebohongan besar. Bukan hanya itu; klaim Qur’anik bahwa tak ada orang yang bisa merubah firman-firman Allah juga merupakan sebuah kepalsuan. Qur’an seharusnya merupakan sebuah, jika kita meminjam kata-kata dari Guillaume (1978, p. 74), yang paling suci dari semua yang suci. Ia tidak boleh ada di bawah kitab yang lain, tetapi selalu berada di atasnya, orang tak boleh minum atau merokok ketika kitab ini dibacakan dengan keras, dan ia harus didengarkan di dalam keheningan. Ini adalah Kitab yang merupakan jimat melawan penyakit dan bencana.” Orang-orang Muslim menyebut Quran sebagai “Ibu dari semua Kitab” dan meyakini tak ada kitab atau wahyu lainnya yang bisa diperbandingkan dengan Qur’an (Caner & Caner, 2002. p.84). Tetapi sekarang, dengan penemuan ini, semua keyakinan itu menjadi lenyap. Hasil akhir dari seluruh perjuangan Islam selama empat belas abad sekarang menjadi nol besar.
Tidak hanya itu, banyak naskah memperlihatkan tanda-tanda dimana naskah-naskah itu menggunakan tulisan asli yang telah dipakai ulang. Misalnya, ayat-ayat yang sangat jelas ditulis di atas ayat-ayat lain yang sudah dihapus. Tentu saja ayat-ayat yang ada di bawah tulisan yang ada sekarang sulit untuk dibaca secara visual, tetapi peralatan-peralatan modern seperti fotografi ultraviolet dapat memperlihatkan dengan jelas tulisan-tulisan itu. Dipercaya bahwa naskah-naskah Sana’a bukan hanya satu-satunya varian, tetapi sebelum itu, teks Qur’anik telah dimodifikasikan dan ditulis ulang pada kertas yang sama. Hal ini berarti, klaim Allah (Sura 56: 77-78; 85:21-22) bahwa teks asli telah disimpan di surga pada lembaran-lembaran emas, yang tak bisa disentuh oleh siapa pun kecuali para malaikat, hanyalah sebuah cerita dongeng.
Setelah mempelajari dengan seksama naskah-naskah ini, Puin sampai pada kesimpulan bahwa teks ini sesungguhnya sebuah teks yang telah dikembangkan, dan bukannya firman Allah sebagaimana yang diwahyukan secara menyeluruh kepada Muhammad (Warraq, 2002, p. 109). Dengan perasaan tergetar ia berkata, ”Begitu banyak Muslim yang memiliki keyakinan ini, bahwa segala sesuatu diantara kedua penutup Qur’an adalah firman Allah yang tak bisa dirubah. Mereka senang mengutip karya tekstual yang memperlihatkan bahwa Alkitab memiliki sebuah sejarah dan bukan sesuatu yang diturunkan langsung dari langit, bahwa hingga saat ini Qur’an berada di luar perdebatan. Satu-satunya cara untuk meruntuhkan dinding ini adalah dengan membuktikan bahwa Qur’an pun memiliki catatan sejarah. Fragmen-fragmen Sana’a akan membantu kita melakukan hal ini.”
Puin bahkan menyimpulkan (mengutip Taher, 2000), ”Tak ada satu pun karya tunggal yang tetap tanpa perubahan selama berabad-abad. Termasuk kisah-kisah yang ditulis sebelum nabi Muhammad memulai pelayanannya dan yang kemudian setelah itu ditulis ulang.”
Selama melakukan riset mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Puin (Lester, 1999), ”Mereka (otoritas Yaman ingin agar hal ini tidak digembar-gemborkan, sebagaimana yang juga kami lakukan, meski dengan alasan yang berbeda. Mereka tak ingin menarik perhatian pada kenyataan bahwa ada orang-orang Jerman dan lainnya yang melakukan studi terhadap Qur’an. Mereka tidak mau mengumumkannya kepada publik, bahwa ada pekerjaan seperti ini yang sedang dilakukan, oleh karena posisi Islam adalah bahwa semua hal yang perlu dikatakan mengenai sejarah Qur’an telah dikatakan seribu tahun lalu.”
Pada kenyataannya, Puin dan rekannya Bothmer mengetahui untuk beberapa saat ketika mereka melakukan studi mereka, bahwa Qur’an sendiri adalah sebuah teks yang terus berkembang, namun dengan bijaksana mereka memahami implikasi yang mungkin dari penemuan-penemuan mereka dan karena itu mereka tetap berdiam diri. Jika otoritas Yaman mengetahui penemuan ini, sangat besar kemungkinan mereka akan menolak kedua orang ini untuk memperoleh akses lebih jauh. Inilah yang dimaksudkan oleh Puin sebagai “alasan-alasan lain.” Karena itu keduanya tetap diam, dan kedua sarjana ini dapat tetap meneruskan riset mereka.
Penemuan Puin juga mengkonfirmasi asumsi Wansbrough mengenai teks Qur’anik. Pada tahun 1970an, Wansbrough menyimpulkan bahwa Qur’an berkembang secara bertahap pada abad ketujuh dan kedelapan, setelah periode panjang dari transmisi oral, dan sekte-sekte yang berbeda biasanya berdebat dengan keras satu sama lain mengenai wahyu-wahyu mana yang asli. Alasan bahwa tidak ada sumber materi dari permulaan Islam yang pernah selamat adalah karena ia memang tidak pernah ada. Pada kenyataannya, Puin mengakui bahwa ia ‘membaca ulang karya Wansbroughketika ia menganalisa fragmen-fragmen Yaman itu (Warraq, 2002. p. 122).
Teori Puin lainnya yang radikal adalah bahwa sumber-sumber pra-Islamik telah memasuki Qur’an. Argumentasinya adalah bahwa ada dua suku yang disebut, As-Sahab-ar-Rass (Para sahabat dari Sumur) dan As-Sahab-al-Aiqa (Para Sahabat dari Semak-semak Berduri) yang bukan merupakan bagian dari tradisi Arab, dan orang-orang pada masa Muhammad tentu saja tidak mengenal mereka. Ia juga tidak setuju pandangan yang mengatakan bahwa Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang paling murni. Kata “Qur’an” itu sendiri aslinya berasal dari luar Arab. Kontras dengan keyakinan populer Muslim, ia mengatakan bahwa arti dari “Qur’an” bukanlah pembacaan atau pengajian. Sebenarnya kata “Qur’an” menurutnya berasal dari bahasa Aramaik, “Qariyun”, artinya sebuah leksionari bagian-bagian kitab suci yang ditetapkan untuk dibaca dalam ibadah ilahi. Qur’an kebanyakan berisi cerita-cerita Alkitab tetapi dalam bentuk yang lebih pendek dan merupakan “sebuah ringkasan dari Alkitab untuk dibaca dalam ibadah.”
Bothmer secara seksama telah mengambil lebih dari tiga puluh lima ribu gambar-gambar mikro film dari fragmen-fragmen itu pada tahun 1997 dan membawa gambar-gambar itu ke Jerman (Warraq, 2002, p.109). Artinya bahwa saat ini Bothmer, Puin dan para sarjana lainnya pada akhirnya akan memiliki sebuah kesempatan untuk meneliti kembali dengan lebih cermat teks-teks itu dan mempublikasikan penemuan-penemuan mereka dengan bebas.
Puin tertarik untuk menulis sebuah buku mengenai hal ini pada masa depan, tetapi ia telah menulis beberapa tulisan-tulisan pendek mengenai penemuan mereka di berbagai macam majalah ilmiah, dimana ia memperlihatkan beberapa penyimpangan antara Qur’an kuno dan Qur’an standar sebagaimana yang ada saat ini (Mengutip Warraq, 2002, p.739-44)
Ketika membuktikan bahwa Qur’an sama sekali bukan kitab yang bisa dianggap suci, Puin menulis, ”Pendapat saya adalah bahwa Qur’an sejenis teks-teks gado-gado dimana tidak semuanya dimengerti pada masa Muhammad. Banyak dari teks-teks ini bahkan usianya seratus tahun lebih tua daripada Islam itu sendiri. Klaim-klaim Qur’an untuk dirinya sendiri adalah bahwa ia merupakan sesuatu yang jelas (mubeen). Tetapi (kontras dengan keyakinan populer) jika anda mengamatinya, anda akan menemukan bahwa seperlima dari kalimatnya sama sekali tidak mempunyai makna…faktanya adalah seperlima dari teks Qur’anik sama sekali tidak bersifat komprehensif. Jika Qur’an itu tidak komprehensif, bahkan jika ia sendiri tidak bisa dimengerti dalam bahasa Arab, maka ia juga tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Itulah sebabnya mengapa Muslim merasa takut. Meskipun berulang-ulang Qur’an mengklaim bahwa ia adalah sesuatu yang jelas, tetapi nyatanya di situ terdapat banyak sekali kontradiksi yang sangat serius. Sesuatu pasti telah terjadi.
Penemuan yang luar biasa dari Puin sangat menarik perhatian Andrew Rippin, seorang Profesor bidang studi agama dan seorang ahli terkemuka dalam bidang studi Qur’an. Rippin (dikutip dari Warraq, 2002, p.110) menyimpulkan, ”Pengaruh dari naskah-naskah Yaman masih bisa dirasakan. Pembacaan-pembacaan mereka yang bervariasi dan susunan ayat-ayat semuanya sangat signifikan. Semua orang setuju dengan hal ini. Naskah-naskah ini memperlihatkan bahwa sejarah awal teks Qur’anik lebih dari sekedar sebuah pertanyaan terbuka sebagaimana yang diduga banyak orang. Teks itu kurang stabil dan karena itu otoritasnya sedikit, daripada yang selalu diklaim.”
Observasi Rippin benar-benar luar biasa. Selama periode Kalifah mula-mula, Islam bertumbuh sebagai gerakan politik dan bukan sebagai sebuah gerakan keagamaan. Sebuah buku seperti Qur’an dibutuhkan untuk menjaga agar orang-orang Muslim tetap bersatu. Qur’an seperti sebuah ‘simbol status’ dari Islam, yang jika bukan karena buku ini maka Islam akan mati bahkan pada masa Muhammad. Qur’an itu murni buatan manusia.
Beberapa hal yang bersifat ilahi dilekatkan pada Qur’an supaya ia bisa memberikan perintah yang bisa dihormati, sebab ia tidak memiliki kuasa dari dirinya sendiri. Inilah caranya, bagaimana ketika mengakui klaim-klaim dari Qur’an sebagai ungkapan langsung dari Yang Ilahi, para manipulator mula-mula telah menyingkirkan semua kritik, yang kemungkinan akan mengeksposnya. Dalam Sura 5:101 dan 5:102 Qur’an sendiri melarang kritik. Kita tidak tahu saat kebutaan religius secara perlahan muncul, tetapi tanpa ragu, Muslim mula-mula setelah Muhammad sebenarnya lebih liberal dibandingkan dengan generasi yang kita lihat saat ini. Otentisitas dari banyak ayat telah dipertanyakan sendiri oleh orang-orang Muslim mula-mula. Banyak Kharijit, yang merupakan pengikut-pengikut Ali dalam sejarah Islam mula-mula, menemukan Sura yang menceritakan cerita yang tidak sopan mengenai Yusuf, sebuah kisah erotis yang tidak mungkin merupakan bagian dari Qur’an (dikutip dari Warraq, 1998, p.17)
Warraq (1998, p. 14) memiliki pandangan yang sama dengan Rippin, ”Para sarjana Muslim pada tahun-tahun awal Islam jauh lebih fleksibel dengan posisi mereka, menyadari bahwa bagian-bagian Qur’an telah hilang, diselewengkan dan bahwa ada ribuan perbedaan yang menyebabkan tidak mungkin bisa berbicara mengenai Qur’an.”
Ada bukti lainnya bahwa pesan-pesan Qur’anik telah diubah pada masa-masa awal Islam dan tidak ada lagi yang eksis yang disebut “Qur’an”. Tulisan dari beberapa ayat Qur’anik menghiasi Mesjid Dome of Rock di Yerusalem, yang barangkali merupakan monumen Islamik pertama dam merupakan sebuah pencapaian artistik mayor, dibangun tahun 691 AD (Whelan, 1998, pp 1-14). Tulisan-tulisan ini secara signifikan berbeda dari teks standar yang ada saat ini (Warraq, 2000, p. 34)
Mingana (mengutip Warraq, 1998. p.80) mengeluhkan, ”Pertanyaan paling penting dalam mempelajari Qur’an adalah otoritasnya yang tidak boleh ditantang.” Inilah satu-satunya alasan; investigasi kritikal mengenai teks Qur’an adalah sebuah studi yang masih belum dewasa. Sebagaimana dikatakan oleh Rippin (1991, p. ix) yang mengeluhkan, ”Seringkali saya menemukan individu-individu yang mempelajari Islam dengan latar belakang studi sejarah Alkitab Ibrani atau Kekristenan mula-mula, dan yang mengekspresikan keterkejutan pada kurangnya pemikiran kritis yang muncul dalam teksbook-teksbook pendahuluan Islam. Gagasan bahwa “Islam dilahirkan dalam terang sejarah yang jelas” kelihatannya masih merupakan anggapan dari banyak penulis besar mengenai teks-teks seperti itu.” Cook dan Crone (1977, p. 18) menyimpulkan,”[Qur’an] sangat kurang dalam keseluruhan struktur, seringkali tidak jelas dan tidak merupakan sebuah rangkaian; sementara isinya asal-asalan dan materi-materi yang dibahas berbeda, serta melakukan pengulangan-pengulangan di seluruh pasal dengan versi yang berbeda-beda. Dengan dasar ini, bisa diperdebatkan bahwa kitab ini adalah produk dari sebuah keterlambatan dan pengeditan materi yang tidak sempurna dari sebuah tradisi-tradisi yang bersifat plural.” Crone (mengutip Warraq, 1998, p. 33) juga menuliskan, ”Qur’an telah menurunkan banyak sekali informasi palsu.”
Tetapi dalam kaitan dengan Alkitab, kita menemukan perbedaan, sebagaimana yang diobservasi oleh Rodinson (1980, p. viii),”[Untuk Alkitab] sikap ilmiah dimulai dengan keputusan untuk menerima sesuatu sebagai fakta hanya jika sumber itu telah dibuktikan sebagai sesuatu yang dapat dipercaya.” Orang-orang Muslim secara salah mengintepretasikan kejujuran orang-orang Kristen yang memperlihatkan sejumlah pembacaan Alkitab yang bervariasi sebagai kelemahan (Ali & Spencer; 2003. p. 76-9).
Orang-orang Kristen, seperti halnya orang-orang Hindu, ingin melihat Kitab Suci mereka melalui sudut pandang ilmiah dan sejarah. Ketika naskah-naskah tua Alkitab, perkamen-perkamen atau naskah-naskah Hindu ditemukan, para sarjana Kristen dan Hindu hampir-hampir saling memanjat bahu masing-masing agar bisa terlebih dahulu mendapatkan akses kepada teks-teks itu. Penemuan-penemuan seperti ini membuat mereka merasa sangat tertarik. Tetapi sayangnya, tidak ada hasrat seperti itu dalam Islam. Kristen dan Hindu sangat berkeinginan untuk melihat lebih banyak lagi hal-hal yang bisa disingkapkan mengenai kitab suci mereka, sementara Muslim menolaknya, bahkan seringkali dengan determinasi yang kuat. Kontras ini benar-benar sebuah pukulan. Sementara baik iman Hindu dan Kristen secara kuat didukung oleh bukti-bukti arkeologis dan historis, sejauh ini tidak ada satu pun eksplorasi arkeologis yang diijinkan untuk dilakukan di Mekkah dan Medinah, dan tidak ada kemungkinan untuk melakukannya di masa yang akan datang (Peters, 1986. p. 72-4).
Kritikan Muslim terhadap Qur’an sangat jarang dan hampir-hampir tidak pernah ada sebagaimana yang dikeluhkan oleh Sina (2008, p. 6), ”Orang-orang Muslim pada dasarnya tidak punya kapabilitas untuk mempertanyakan Islam.” Baru-baru ini saja website-website para mantan Muslim yang melakukan sejumlah karya yang luar biasa mengenai hal ini. Tentu saja, orang-orang yang telah mengalami pencerahan seperti mereka akan berhasil membebaskan saudara-saudari Muslim mereka dari penjara Islamik. Jika tidak, apa pun kritikan yang dilakukan terhadap Qur’an, semuanya akan dilakukan oleh para sarjana Kristen. Tetapi orang-orang Muslim seharusnya tidak menganggap kritik dari orang Kristen sebagai sebuah tanda oposisi religius. Para sarjana Kristen telah melakukan lebih banyak lagi kritikan terhadap agama mereka sendiri daripada terhadap Islam (Sproul & Saleeb, 2003. p. 17; Spencer, 2007, p. 1).
Tetapi sekali penemuan-penemuan Sana’a dipublikasikan secara detil, Islam tidak akan pernah sama lagi sebagaimana ia ada selama empat belas abad ini. Islam pasti akan mengambil sebuah posisi yang asing. Banyak Muslim akan menunjukkan keraguan terhadap kesakralan Qur’anik dan konsep yang sangat “romantis” dari Qur’an secara perlahan akan lenyap dan sebuah perkembangan yang sangat menarik akan bisa diobservasi. Pertanyaan pertama yang akan muncul di pikiran mereka adalah – versi yang mana yang paling superior. Tetapi kemudian, tidak mungkin memilih sebuah versi Qur’an dan menolak versi yang lain berdasarkan pilihan. Sebab keyakinan Muslim juga menegaskan bahwa siapa saja yang menolak bahkan satu ayat pun dari Qur’an, sebenarnya mereka telah menolak seluruh pewahyuan. Ini adalah sebuah kemustahilan logis dan karena riset ilmiah telah meneriakkan kebenaran; banyak Muslim akan mencari jalan keluar dari hal yang tidak masuk akal ini dan akan mencoba membebaskan diri mereka dari penindasan tirani yang hidup di sebuah agama yang palsu.
Ketika mendiskusikan apatisme Muslim terhadap sains, hukum logika dan hukum alam, Jaki (mengutip Spencer, 2002, p. 127) menulis, ”Apa yang terjadi dalam dunia Muslim hari ini adalah sebuah konfrontasi, bukan antara Tuhan dan Iblis…tetapi antara satu Tuhan yang sangat spesifik dan ilmu pengetahuan yang merupakan sebuah antagonis yang sangat spesifik dari Tuhan itu, yaitu Allah dari Qur’an, yang merupakan oknum yang sepenuhnya mendominasi intelektual.”Penemuan Sana’a hanya akan menambahkan bahan bakar untuk api itu. Hari ini dunia Muslim dikelilingi dengan frustasi. Islam seharusnya menjadi wahyu terakhir dan orang-orang Muslim seharusnya menjadi “Manusia terbaik”, tetapi kenyataannya benar-benar bertentangan. Bangsa-bangsa Muslim adalah bangsa-bangsa yang paling miskin di dunia (Ohmyrus, 2006, p. 128). Saatnya akan tiba ketika otoritas keagamaan akan ditanya oleh orang-orang Muslim kebanyakan, dan mereka akan dituntut untuk menyangkali kritikan-kritikan secara logis, ilmiah dan masuk akal, bukan dengan kekuatan brutal atau melalui Fatwa. Sebagaimana yang ditulis oleh Parvez Manzoor, ”Cepat atau lambat [kami orang-orang Muslim] harus mendekati Qur’an dari asumsi-asumsi metodologikal dan parameter-parameter yang secara radikal merupakan hal yang asing dengan hal-hal yang telah disucikan oleh tradisi kami” (Warraq, 2002, p. 123).
Tetapi naskah-naskah Sana’a juga akan memprovokasi pertanyaan lainnya. Jika Qur’an adalah sebuah kebohongan, bagaimana kebohongan ini bisa bertahan selama berabad-abad? Alasannya adalah bahwa Keilahian yang ditempelkan pada Qur’an bukan hanya sebuah “Kebohongan Yang Kecil”, tetapi “Sebuah Kebohongan Yang Besar.” Kebohongan-kebohongan yang besar adalah sesuatu yang sangat ampuh, dan ia selalu memiliki sebuah efek psikologis terhadap para pendengar. Semakin besar kebohongan, semakin ia bisa dipercayai. Adolf Hitler menulis dalam Mein Kamph (1925), ”Massa yang besar dari sebuah bangsa akan menjadi korban oleh sebuah kebohongan besar daripada oleh sebuah kebohongan kecil.” Kebohongan besar sangat meyakinkan karena ia akan menutupi pikiran sehat pendengar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sina (2008, p. 179), orang-orang biasa tidak akan berani untuk menceritakan sebuah kebohongan besar sebab ia berpikir bahwa hal itu tidak akan dipercayai dan ia akan menjadi bahan olok-olok. Karena tidak ada seorang pun yang pernah menceritakan sebuah kebohongan dalam hidupnya, kebohongan-kebohongan kecil seringkali cepat atau lambat akan bisa dideteksi. Tetapi kebohongan-kebohongan besar benar-benar aneh karena ia seringkali membuat para pendengar menjadi kehilangan akal. Ketika kebohongan itu sangat besar (seumpama raksasa), orang-orang kebanyakan akan bertanya-tanya bagaimana seseorang memiliki keberanian, yaitu dengan lancang mengatakan hal seperti itu.
Kebohongan besar selalu mengejakan keajaiban dalam politik. George Orwill (mengutip Sina, 2008, p. 179) berkata, ”Bahasa politik….didisain untuk membuat kebohongan terdengar sebagai sesuatu yang jujur dan pembunuhan dapat dihargai dan membuat angin terlihat sebagai sesuatu yang padat.” Hari ini, ketika sifat keilahian Qur’an disebarkan oleh naskah-naskah Sana’a, maka natur spiritual Islam juga diekspos. Islam tak lebih dari sebuah gerakan politik Arab. Sifat keilahian ditempelkan pada Qur’an, ketika orang-orang Arab mulai menduduki bangsa-bangsa di sekeliling mereka dan Islam dipaksakan oleh mereka dengan kekerasan. Orang-orang Arab tidak hanya memaksakan Islam pada bangsa-bangsa lain tetapi juga memaksakan keyakinan irasional dari keilahian Qur’anik ini kepada pemikiran-pemikiran para korban mereka, sehingga ketika orang-orang Arab telah pergi, orang-orang yang telah ditaklukkan tidak bisa keluar dari mental perbudakan ini dan kembali kepada iman mereka yang asli. Ini adalah sebuah keahlian politik yang langka. Banyak sahabat-sahabat Muhammad dengan jelas mengetahui bahwa Qur’an adalah sebuah kepalsuan, tetapi mereka tetap tinggal bersama dengan nabi mereka untuk bisa memperoleh barang rampasan dan menikmati para wanita. Kita semua tahu, setelah kematian Muhammad, beberapa suku Arab kembali kepada keyakinan mereka sebelumnya dan penyembahan berhala pun kembali mekar.
Menyebabkan banyak Muslim menjadi syok; studi modern dalam bidang Psikologi telah memperlihatkan kebenaran bahwa Muhammad adalah seorang yang suka memaksa, seorang pria gila yang menderita Kelainan Personalitas Narsisistik (Narcissistic Personality Disorder). Narsisistik adalah orang-orang yang diserap oleh dirinya sendiri dan secara patologis merupakan para pembohong. Artinya, apakah mereka tidak menyadari kebohongan mereka atau merasa sepenuhnya benar dan merasa mudah berbohong pada orang lain. Kondisi mental mereka sedemikian rupa sehingga jarang ada orang yang bahkan memiliki kapasitas untuk mempercayai kebohongan mereka sendiri (Vaknin, 1999, p. 24).
Dan ya, Adolf Hitler, yang mengetahui kekuatan dari sebuah kebohongan besar dan telah menyesatkan jutaan orang Jerman, juga dikenal sebagai seorang Narsisis. Hari ini Hitler adalah figur sejarah yang paling dibenci di Jerman. Seperti sebuah ilmu matematika, pastilah Muhammad juga akan memperoleh nasib yang sama. Tetapi kita benar-benar tidak tahu, berapa juta orang akan mati sebelum kita bisa menaruh Muhammad di keranjang sampah dengan Allahnya, Quran dan Islam bersama-sama. Bagi Hitler, ini adalah Sosialisme Nasionalis (nama lain untuk Naziisme), dan bagi Muhammad ini adalah Islam. Tetapi pada dasarnya, keduanya adalah dua sisi koin yang sama-seorang manipulator yang sukses.
Sina (2008, p. iv, 260) memberikan komentar, ”Islam seumpama sebuah rumah kartu, dipelihara oleh kebohongan-kebohongan. Yang diperlukan adalah menghancurkannya dengan memberikan tantangan kepada salah satu dari kebohongan-kebohongan yang membuatnya tetap berdiri seperti sekarang. Islam adalah sebuah bangunan yang tinggi, didirikan di atas pasir; satu kali saja anda mengekspos pondasinya, maka pasir itu akan tergerus dan gedung besar ini akan jatuh karena berat yang ditanggungnya” dan lagi ”Islam berdiri di atas tanah yang rapuh. Ia hanya berisi kebohongan. Kita hanya perlu mengekspos kebohongan-kebohongan dan bangunan raksasa dari teror dan penipuan ini untuk meruntuhkannya.”
Mari kita lihat, sekali aura kesakralan Qur’an lenyap, kebohongan-kebohongan lain apa yang akan diekspos?
Pertama; jika ada dua atau lebih dari dua versi Qur’an, maka akan ada jumlah Allah yang sama. Jadi, jika hanya ada dua Qur’an yang otentik, apakah Islam masih bisa dianggap sebagai agama monoteisme? Bagaimana memastikannya, Allah mana yang memberikan sebuah versi Qur’an? Jika hanya ada satu Allah, maka Qur’an mana yang otentik?
Kedua; jika kita masih percaya bahwa sebuah Qur’an adalah otentik, maka bagaimana Allah mengijinkan Qur’an lainnya tetap ada?
Ketiga, apakah masih bisa dianggap benar bahwa Qur’an (Sura 10:64) yang berkata bahwa firman-firman Allah tidak akan berubah-ini benar-benar pencapaian yang sangat hebat? Jika ya, sekarang apa lagi yang akan dilakukan oleh lebih dari sebuah Qur’an? Jika tidak, bagaimana wahyu palsu seperti ini dicatat dalam Qur’an? Apakah Setan yang menaruhnya?
Terakhir, Bukhari (4.52.233) mencatat ”Orang-orang tidak beriman tidak akan pernah memahami tanda-tanda dan wahyu-wahyu kami.” Tetapi kita bisa saksikan, untuk memahami Qur’an Sana’a, otoritas Yaman mengundang para sarjana Jerman karena tak ada seorang pun di Yaman yang sanggup mengungkapkan penemuan besar seperti ini.
Tidak heran jika Sina (2008) menyimpulkan, ”Tak peduli bagaimana anda memandang Islam, ia tetap akan terlihat sebagai sebuah agama kebodohan.”
Orang-orang Muslim telah menjual jiwa mereka kepada Muhammad, tetapi bisakah mereka secara logis membersihkan keraguan-keraguan di atas? Episode Sana’a telah menempatkan mereka pada sebuah posisi yang canggung, bahwa bahkan alasan yang berputar-putar atau absurditas logika tak akan bisa menolong mereka. Bukankah inilah saatnya bagi orang-orang Muslim yang bijaksana untuk memikirkan ulang iman mereka? Daripada berusaha keras untuk memberikan alasan terhadap keraguan-keraguan di atas, bukankah lebih bijaksana untuk setuju bahwa satu milyar lebih orang-orang Muslim telah dibodohi oleh seorang pemaksa vulgar yang bernama Nabi Muhammad? Bukankah ini saatnya bagi orang-orang Muslim untuk mencari kebenaran? Sebagaimana penulis puisi Thomas Gray (dikutip dari Sagan, 1997, p. 12) menulis,”….kapankah ketidaktahuan merupakan sebuah kebahagiaan, yaitu ketika kebodohan dianggap sebagai hikmat.”
Untuk melindungi Qur’an dari penghinaan lebih jauh, otoritas Yaman telah menghalangi Puin dan Bothmer mengkaji lebih jauh naskah-naskah itu.Kenyataannya, saat ini mereka tidak mengijinkan siapa pun melihat naskah-naskah itu kecuali fragmen-fragmen non-Qur’anik yang dengan sangat hati-hati telah diseleksi terlebih dahulu, yang bisa dilihat di lantai dasar Perpustakaan Dar al-Makhtutat. Tetapi hal ini sia-sia. Burung sudah keluar dari sangkarnya dan tak ada gunanya menutup pintu sekarang. Lebih dari 35.000 mikrofilm saat ini sudah ada di luar Yaman sebelum otoritas Yaman mengetahuinya dan beberapa duplikat juga sudah dibuat. Pihak otoritas Yaman yakin bahwa saat ini, di beberapa lokasi yang tidak diketahui di Jerman, sekelompok ahli tanpa henti meneliti mikrofilm-mikrofilm itu, dan Puin membakar cukup minyak untuk penerangan malam dalam usaha menyelesaikan bukunya, yang, sekali dipublikasikan, akan memalu paku lainnya pada peti jenazah Islam. Islam hari ini benar-benar dalam bahaya.
Tentu saja, dengan menyadari runtuhnya keilahian di depan mata mereka, banyak orang-orang Muslim merasa terganggu dan merasa diserang. Para fundamentalis tidak akan menerima karya Puin dan Bothmer yang sebenarnya mereka kerjakan dengan obyektifitas akademik, tetapi mereka akan melihatnya sebagai sebuah serangan yang disengaja terhadap integritas teks Qur’anik (Taher, 2000). Secara natural, kedua sarjana Jerman ini akan berada di garis depan menghadapi kemarahan mereka. Puin takut dengan kekerasan yang akan dilakukan oleh orang-orang Muslim ortodoks karena teorinya yang mereka anggap sebagai “hujatan”, yang ia katakan bahwa hal itu tidak bisa ia anggap sebagai hal yang enteng. Dengan mengingat apa yang terjadi pada Salman Rushdie, ia menulis, ”Kesimpulan-kesimpulan saya telah menyebabkan reaksi kemarahan dari orang-orang Muslim ortodoks. Mereka katakan bahwa saya bukan sarjana yang bisa membuat sebuah pernyataan mengenai naskah-naskah ini.” Jika pandangan Puin diambil dan diserukan melalui media, dan jika tidak banyak Muslim yang menanggapinya secara rasional, maka semua neraka akan terlepas. Akan ada sejumlah respon permusuhan dan kerusuhan dan akan menyebabkan banyak kematian dan kehancuran, mungkin akan ada fatwa lainnya dari Khomeini dan tentu saja sejumlah ancaman dari Bin Laden kita yang sangat suka dengan kamera, serta dari saudara-saudara ideologisnya. Tetapi bisakah mereka menghentikan tersebarnya kebenaran?
UNESCO telah menunjukkan ketertarikan yang murni terhadap naskah-naskah Sana’a sejak program the Memory of the World dimulai. Pada tahun 1995, Organisasi ini juga memproduksi sebuah CD-ROM dalam bahasa Arabik, Inggris dan Perancis yang mengilustrasikan sejarah dari pengoleksian materi Qur’anik dan non-Qur’anik. CD-ROM berisi 651 gambar dari 302 fragmen-fragmen Qur’anik, indeks dengan tulisan, bingkai, dan sebagainya, juga sebuah introduksi umum untuk koleksi-koleksi naskah-naskah Yaman dan sebuah deskripsi singkat mengenai perkembangan kaligrafi Arabik (Abid, 1997).
Ursula Dreibholz, seorang ahli pemeliharaan (pengawetan) yang bekerja untuk proyek Sana’a selama delapan tahun sebagai kepala konservator merasa sangat frustasi melihat kekurang perdulian otoritas Yaman untuk melindungi naskah-naskah itu dengan menggunakan teknologi modern (1983, pp. 30-8). Apakah perlengkapan keamanan sudah benar, dan apakah perhatian yang diberikan terhadap naskah-naskah itu sudah memadai untuk mencegah kerusakan lebih jauh (1996, pp 131-45). Kenyataannya, Dreibholz (1999, pp 21-5) mengatakan, bahwa ia sangat peduli untuk menciptakan sebuah sistem penyimpanan permanen yang aman dan dapat dipercaya untuk menyimpan naskah-naskah ini. Juga, penyimpanan yang buruk akan sulit melindungi naskah-naskah itu dari serangga dan air. Yang paling penting lagi, masalah utama adalah kurangnya pencegahan dari kebakaran atau sistem deteksi, dengan mengingat bahwa dalam sejarah banyak perpustakaan-perpustakaan penting yang hancur oleh karena kebakaran. Otoritas Yaman mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang untuk memasang sistem perlindungan dari kebakaran. Ia benar-benar tidak mengerti alasan sebenarnya dibelakang sikap apatis otoritas Yaman.
Di sini, para fundamentalis Muslim bisa melihat sebuah tali perak di awan-awan. Tak seorang pun tahu kapan sebuah kebakaran yang menghancurkan akan terjadi secara ‘insidentil’ dan menghancurkan semua naskah-naskah Qur’anik itu, yang akan menyebabkan naskah-naskah itu terbakar. Di balik semuanya, untuk menyelamatkan Islam, Qur’an harus diselamatkan, dan untuk itu orang-orang Muslim akan melangkah lebih jauh lagi. Jika perlu, mereka sendiri akan membakar Qur’an untuk menyelamatkannya dari analisa-analisa logis. Kesetiaan mereka kepada kebodohan sedemikian tinggi. Barangkali, otoritas Yaman tidak mau memasang sistem pencegah kebakaran adalah sebuah persiapan awal untuk sebuah tindakan seperti itu di masa depan. Jangan pernah menganggap remeh kapasitas destruktif dari orang-orang fanatik tak berotak.