Sementara Kekristenan secara terus-menerus dihapuskan secara fisik dari Timur Tengah, tidak banyak yang tahu bahwa kedudukan historis dan keberadaan Kekristenan secara sistematis juga berusaha dihapuskan dari ingatan.
Pertengahan 2016 lalu sebuah video muncul yang menayangkan anggota Negara Islam, ISIS, melemparkan ratusan buku-buku Kristen, kebanyakan di antaranya dengan hiasan salib, ke dalam api unggun. Seperti dilaporkan, ISIS “membakar buku-buku Kristen dalam suatu usaha untuk menghapuskan seluruh jejak-jejak” Kekristenan dari wilayah kuno Mosul, dimana Kekristenan dulunya berkembang selama berabad-abad sebelum kebangkitan Islam.
ISIS pada akhirnya merupakan contoh ekstrem dari pendekatan normatif Islam, yang juga dikonfirmasi dalam konferensi di Amman, Yordania yang diadakan oleh Pusat Studi Politik Yerusalem. Sementara presentasi, Dr. Hena al-Kaldani, seorang Kristen, mengatakan bahwa “terjadi penghapusan total terhadap sejarah Kekristenan Arab di dalam zaman pra-Islam,” “banyak terjadi kesalahan-kesalahan historis,” dan “lompatan-lompatan sejarah yang tidak dapat dibenarkan di dalam kurikulum Yordania kami.” “Buku-buku pelajaran kelas sepuluh menghilangkan sebutan apa pun terhadap Kristen atau sejarah gereja di wilayah itu.” Kapan pun Kristen disebutkan, itu dihilangkan dan disebar-luaskan karakterisasi yang salah, termasuk penggambaran bahwa Kekristenan itu merupakan suatu usaha kolonisasi dari negara Barat (asing),” kata al-Kaldani.
Minoritas Kristen di wilayah Timur Tengah – tidak hanya di Yordania – telah lama mengerti bahwa pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, biasanya memberangus warisan Kristen di wilayah tersebut, dan sebaliknya mengagung-agungkan Islam.
graphic
“Ini kedengarannya aneh, tapi Muslim kurang lebih tidak tahu apa-apa tentang Kristen, meskipun mereka adalah mayoritas populasi dan bahkan merupakan orang-orang Mesir asli,” kata Kamal Mougheeth, seorang pensiunan guru di Mesir. “Mesir adalah wilayah Kristen selama enam hingga tujuh abad sebelum invasi Muslim sekitar tahun 640. Hal yang menyedihkan adalah selama bertahun-tahun, buku-buku sejarah melompat dari zaman Cleopatra lalu ke penaklukan Muslim di Mesir. Era Kekristenan tidak disebutkan. Hilang. Seluruhnya gelap.”
Ini sangat sesuai dengan yang diceritakan para orang tua, bekas murid sekolah di Mesir, mengenai pengalaman pelajaran sejarah di kelasnya kira-kira lebih dari lima puluh tahun yang lalu: sama sekali tidak disebutkan tentang Helenisme, Kekristenan, atau Gereja Koptik – selama seribu tahun sejarah Mesir pra-Islam. Sejarah dimulai dengan para firaun, lalu meloncat ke abad ke-7 ketika Muslim Arab “membuka” Mesir bagi Islam. Penaklukan Muslim terhadap wilayah non-Muslim, secara eufemisme disebut “pembukaan,” fath, tidak disebut “penaklukan.”
graphic
Sharara Yousif Zara, seorang politisi berpengaruh yang menangani Kementerian Pendidikan Iraq juga menyetujuinya, “Situasi yang sama terjadi di Iraq. Hampir tidak ada apa pun tentang Kristen dalam buku-buku sejarah Iraq, dan sekiranya ada, itu isinya benar-benar salah. Tidak disebutkan apa pun tentang Kristen di sini, sebelum kedatangan Islam. Satu-satunya Kristen yang disebutkan adalah yang berasal dari Barat. Banyak orang Iraq percaya, orang Kristen di Iraq itu pendatang, dari Barat. Bahwa Kristen itu adalah tamu-tamu di negeri ini.”
christian-mideast
Pendekatan sejarah yang dipalsukan di Timur Tengah terhadap Kekristenan secara turun-temurun telah berhasil mengindoktrinasi murid-murid Muslim untuk menaruh rasa curiga dan membenci Kekristenan, yang secara umum dipandang sebagai sisa-sisa parasit asing yang ditinggalkan oleh kolonisasi Barat, meskipun sebenarnya, Kekristenan telah berkembang mendahului Islam di wilayah tersebut selama enam abad.
Ini juga menjelaskan ironi pahit di dalam Islam Timur Tengah: sejumlah besar orang Kristen Timur Tengah masa kini yang dianiaya oleh Muslim – termasuk seperti ISIS – yang nenek moyangnya sendiri dulunya adalah orang-orang Kristen yang dianiaya, kemudian berpindah ke dalam Islam untuk mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain, keturunan-keturunan Muslim dari mantan orang-orang Kristen yang pada zaman dahulu dianiaya ini sekarang membantai saudara sepupu Kristen mereka sendiri. Kristen dipandang sebagai bagian “pengkhianat asing” karena banyak Muslim yang tidak mengenal nenek moyang Kristen mereka sendiri.
Karena revisi sejarah yang sudah mendarah daging ini, para ‘ahli-ahli’ Muslim Mesir dapat memasukkan thesis-thesis yang sangat meragukan dan ahistoris, seperti terlihat dari buku Dr. Fadel Soliman 2011, Koptik: Muslim Sebelum Muhammad. Ia mengklaim bahwa, pada zaman Muslim menaklukkan Mesir, bagian terbesar orang Mesir bukanlah orang Kristen (seperti yang selama berabad-abad diajarkan oleh sejarah Muslim) tetapi merupakan proto-Muslim, atau muwahidin, yang ditindas oleh orang-orang Kristen Eropa: maka dari itu, invasi Islam di Mesir sebenarnya adalah “membebaskan” saudara-saudara Muslim.
Tidak perlu dikatakan, tidak ada sejarawan yang pernah menulis bahwa Muslim menduduki Mesir untuk membebaskan orang-orang “proto-Muslim.” Sebaliknya, para penulis sejarah Muslim yang menulis sumber-sumber utama Islam di Mesir, secara sembunyi-sembunyi dan terus-menerus menggambarkan “pembukaan-pembukaan” sementara mereka menaklukkan, yang tidak jarang disertai dengan pembunuhan, perbudakan, dan pengusiran orang Kristen dan penghancuran ribuan gereja di tempat itu.
coptic
Gabriel Naddaf
Gabriel Naddaf, seorang pendeta Israel dari Gereja Yunani Orthodox, mengatakan dalam wawancara dengan Algemeiner bahwa “Negara Yahudi adalah satu-satunya negara di Timur Tengah dimana orang Kristen dapat menjalankan iman mereka bebas dari penindasan,” dia mengatakan, “Komunitas Kristen di Israel telah bertambah empat kali lipat sejak kemerdekaan Israel tahun 1948, dari 34 ribu menjadi 158 ribu pada tahun 2012.”
Meskipun tidak sebanyak atau mendapatkan keuntungan seperti hubungannya dengan Kristen, bangsa Arab juga bertambah banyak di Tanah Israel. Sebelum diberikannya Mandat dari Inggris, tanah Palestina, merupakan suatu wilayah yang terabaikan di salah satu sudut Kerajaan Ottoman, dengan hanya 700.000 orang penduduk yang tinggal di negeri itu. Sementara populasi orang Yahudi bertambah di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, populasi penduduk Arab juga meningkat 120 persen.

Referensi: