Kontradiksi Sirah Nabi
Sirah nabi penuh kontradiksi dan bermasalah secara akademis, tapi tetap dicintai umat Islam.
Dalam komunitas Muslim dikenal sejumlah kitab yang menjadi rujukan untuk mengetahui tentang selak-seluk perjalanan hidup dan berbagai mukjizat Nabi Muhammad SAW (Sirah). Selain untuk mengenalkan sosok mulia yang menjadi teladan umat Islam, sirah juga ditulis dan diterbitkan untuk merekatkan kecintaan kita padanya.
Di antaranya, kitab Kejeniusan Muhammad (‘Abqariyat Muhammad) karya ‘Abbas Mahmud ‘Aqqad, Muhammad sebagai Nabi Pembebas (Muhammad Rasul al-Hurriyah) karangan Abdurrahman al-Syarqawi, Catatan Pinggir Biografi [Nabi] (‘Ala Hamisy al-Sirah) karya Toha Husen. Kitab sirah yang paling banyak dibaca, yang ditulis sarjana Muslim modern, adalah Kehidupan Muhammada (Hayat Muhammad) karya Muhammad Husain Haikal.
Umumnya, kitab sirah yang ditulis sarjana Muslim, baik generasi awal maupun modern, merujuk pada kitab sirah karya Ibn Hisyam (wafat 208 H/833 M): al-Sirah al-Nabawiyah. Inilah kitab sirah pertama dalam sejarah kesarjanaan Islam yang berpengaruh dan menjadi rujukan utama. Karya Ibn Hisyam itu terbitan ulang dan perbaikan dari karangan gurunya, Ibn Ishaq (wafat 150 H/767 M).
Dosen University of Notre Dame, AS, Mun’im Sirry dalam bukunya Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis (Mizan, Februari 2015) menyebut ada sejumlah argumen mengapa kitab sirah itu bermasalah secara akademis.
Pertama, kitab sirah baru ditulis setelah lebih dari 150 tahun wafatnya nabi. Hal itu menimbulkan masalah tersendiri bagi kalangan sejarawan. Mengingat ada kaidah khusus yang dipegang sejarawan, yaitu sumber-sumber historis yang dijadikan rujukan adalah dokumen yang ditulis sezaman dengan peristiwa terjadi.
“Dalam metodologi historis, sumber-sumber yang ditulis belakangan harus didukung oleh data-data lain yang memperkuatnya. Misalnya, hasil ekskavasi arkeologis atau sumber-sumber di luar tradisi itu sendiri,” tulis intelektual muda Muhammadiyah itu di halaman 219.
Sumber-sumber non-Islam juga masih kurang maksimal dikolaborasikan dengan sumber-sumber tradisional dalam penulisan sirah. Persoalan yang tak kalah penting sejauh ini, lanjut Mun’im, adalah belum ada penelitian arkeologis yang menguatkan narasi-narasi yang disebutkan dari sumber-sumber tradisional itu.
Arab Saudi yang diharapkan bisa menjadi pelopor untuk ekskavasi arkeologis untuk meneliti prasasti dan monumen peninggalan Islam justru mengizinkan pembangunan bangunan mewah, mal, dan hotel-hotel berbintang di sekitar Mekkah dan Madinah. Ini berpotensi ‘mengubur’ benda-benda yang tak ternilai harganya secara historis itu.
Kedua, banyak narasi yang disebutkan dalam sumber-sumber tradisional itu yang lebih merefleksikan perkembangan belakangan yang diproyeksikan ke masa nabi. Aspek-aspek politik, teologi, dan hukum yang menjadi perdebatan di kemudian hari mempengaruhi dan membentuk narasi-narasi historis.
“… Sebagian penulis (sirah) modern, seperti Montgomery Watt, mengusulkan kriteria tertentu untuk mendeteksi apakah suatu narasi dalam kitab-kitab sirah itu autentik atau tidak. Terutama terkait aspek politik,” tulis Mun’im. “Bagi Watt, apabila kita berhasil menyingkirkan segala bentuk tendensi dan orientasi politik dari sirah Nabi, maka kita dapat membedakan mana yang autentik dan yang tidak”.
Ketiga, banyak narasi dalam sirah bersifat kontradiktif. Sebagian kontradiksi itu bisa direkonsiliasi, tapi sebagian lain tidak. Contoh yang disodorkan Mun’im, misalnya, tentang kapan Abdullah, bapak nabi, meninggal dunia.
“Ibn Ishaq menyebutkan bahwa Abdullah meninggal ketika istrinya sedang mengandung Muhammad, walau dalam baris berikutnya ia juga meriwayatkan bahwa ada kemungkinan ia meninggal ketika Muhammad berumur sekitar 28 bulan. Riwayat lain menyebut, ia wafat ketika Muhammad berumur tujuh bulan,” tulis penulis buku Polemik Kitab Suci itu.
Meski begitu, Mun’im menegaskan kontradiksi-kontradiksi itu bukan berarti keseluruhan peristiwa dalam sirah itu bersifat fiktif dan tak memiliki nilai historis.
Mengutip sejarawan revisionis Fred Donner, Mun’im menyatakan sirah dan umumnya sumber-sumber keserjanaan tradisional Muslim memang ditulis belakangan dan mengandung banyak kontrakdiksi. Namun, bukan berarti yang ditulis di dalamnya tidak ditransmisikan secara akurat dan benar.
“Donner mengakui adanya kontradiksi dalam narasi-narasi sirah, tapi ia juga mengakui bahwa secara garis besar sumber-sumber tradisional cukup konsisten. Sumber-sumber itu sama sekali tidak menggiring kita untuk meragukan bahwa suatu peristiwa memang betul-betul terjadi, walaupun dalam detailnya terjadi kontradiksi,” tulis Mun’im.
Penting juga ditulis di sini, masyarakat Muslim sejak periode awal sudah terpecah ke dalam berbagai kelompok politik dan sekte keagamaan. Satu sama lain berkonflik. Tapi di tengah konflik yang tajam itu pun mereka bersepakat secara garis-besar dalam memdeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi.
“Amat tidak masuk akal bahwa mereka bersepakat menggambarkan kehidupan Nabi yang sebenarnya fiktif belaka,” tulis Mun’im mengutip Donner.
Buku ini ingin menegaskan satu hal, berbagai kontradiksi dalam narasi sirah justru membuktikan bahwa tak ada otoritas tunggal yang bisa mengklaim bahwa versinya lebih benar dibanding yang lain.
Kendati banyak kontradiksi dalam penulisan sirah, hal itu tak meluruhkan kecintaan umat Islam pada Nabi Muhammad. Sebaliknya, kita bisa memilih versi mana yang lebih bisa menguatkan kecintaan kita pada utusan Allah yang membawa ajaran Islam sebagai rahmat segenap alam semesta. ***
Judul: Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis
Penulis: Mun’im Sirry
Penerbit: Mizan
Terbit: 2015
Halaman: 344 Halaman
Irwan Amrizal
kapan abdullah bapaknye mati membuktikan kalo mamad cuma politikus penepu. ha...7x
knape begeto? karna mamad memberikan 3 jawaban atas pertanyaan yang sama. Kapan bapak ente mati?
1. Abdullah meninggal ketika istrinya sedang mengandung Muhammad,
2. ia meninggal ketika Muhammad berumur sekitar 28 bulan.
3. ia wafat ketika Muhammad berumur tujuh bulan,
No comments:
Post a Comment