Dalam kitab Ibnu Taimiah Majmu Fatawa Jilid 4 / 374 :
إن محمدًا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه
“Sesungguhnya Muhammad Rasulullah, Tuhannya mendudukkannya diatas arasy bersamaNya”.
MAMAD DUDUK DI SEBELAH OLO? ITU KAN NIRU YESUS DUDUK DI SEBELAH KANAN YAHWE. HA...7X
MASIH BERANI BILANG KALO MAMAD BUKAN ANTIKRIS?
MAMAD CUMA MO KEK YESUS BAHKAN MO MELEBIHI YESUS.
JADI ESLAM, QORAN, HADIS, SMUA ITU CUMA AKAL2ANN MAMAD BIAR BISA KEK YESUS N MELEBIHI YESUS. HA...7X
KESAKSIAN MAMAD SAAT DIBAKAR DI NRAKA JUGA NGOMONG KEK GITU. HA...7X
YBU AMEN.
Friday, November 25, 2016
Thursday, November 17, 2016
FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri
FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri (1)
“Semakin banyak kita memperhatikan apa yang dikerjakan orang lain, semakin banyak pula kita belajar untuk diri sendiri”, Isaac Bagnevis Singer.
FRONT Pembela Islam (FPI), dalam media asing disebut sebagai The Islamic Defender Front (FPI), menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial, yang dilakukan oleh laskar paramiliternya (Laskar Pembela Islam) sejak tahun 1998. Tindakan-tindakan kontroversial itu berupa rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam, terutama pada masa Ramadhan. Selain itu terlibat aksi ancaman terhadap warga negara tertentu, dan “penertiban” (sweeping) terhadap warga negara tertentu yang seringkali berujung pada kekerasan. Wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa adalah konflik dengan organisasi berbasis agama lain. Walaupun, di samping aksi-aksi kontroversial tersebut FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan, antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh.
Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya intitusi yang berhak melakukan hal tersebut, dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak memiliki insiatif untuk melakukannya. Bahkan, sewaktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk membubarkan ormas anarkis ‘tak bermutu’ tersebut, FPI bahkan mengancam akan menggulingkan SBY seperti Ben Ali di Tunisia, jika terus melanjutkan pernyataannya (KOMPAS.com, Jakarta, Jumat, 11 Februari 2011 | 15:58 WIB). Apakah benar FPI sehebat itu?
Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya intitusi yang berhak melakukan hal tersebut, dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak memiliki insiatif untuk melakukannya. Bahkan, sewaktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk membubarkan ormas anarkis ‘tak bermutu’ tersebut, FPI bahkan mengancam akan menggulingkan SBY seperti Ben Ali di Tunisia, jika terus melanjutkan pernyataannya (KOMPAS.com, Jakarta, Jumat, 11 Februari 2011 | 15:58 WIB). Apakah benar FPI sehebat itu?
Mengisi kelemahan kemampuan aparat
Empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur, pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di selatan Jakarta, sejumlah habib, ulama, mubaligh dan aktivis Muslim dengan disaksikan oleh ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek, mendeklarasikan FPI dengan tujuan menegakkan hukum Islam di negara sekuler. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Pada saat pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto tidak mentoleransi tindakan yang dianggap ekstrimis dalam bentuk apapun.
Empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur, pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di selatan Jakarta, sejumlah habib, ulama, mubaligh dan aktivis Muslim dengan disaksikan oleh ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek, mendeklarasikan FPI dengan tujuan menegakkan hukum Islam di negara sekuler. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Pada saat pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto tidak mentoleransi tindakan yang dianggap ekstrimis dalam bentuk apapun.
Di bawah pimpinan Habib Muhammad Rizieq Syihab sebagai Ketua Umum FPI, organisasi massa ini berkembang dengan subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto, karena ketika Letjen (Purn) Prabowo Subianto masih aktif, diduga FPI adalah salah satu binaan menantu Soeharto tersebut. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jenderal Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo. Keterkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat disimpulkan dari aksi ratusan milisi FPI –yang selalu berpakaian putih-putih– ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memprotes pemeriksaan Jenderal Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Dengan membawa pedang dan golok, milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM itu bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia ini dibubarkan, karena dianggap lancang memeriksa para jenderal.
Sementara kedekatan FPI dengan ABRI, terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah kejatuhan Wiranto, kelompok ini kehilangan induknya, dan mulai mengalihkan perhatiannya kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia.
Sebagaimana organisasi lain dengan atribut penegak syariat Islam pada umumnya, FPI adalah organisasi tertutup dan menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan pendidikan semi militer dan militan. Anggota LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai dari Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali (panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).
Sebagaimana organisasi lain dengan atribut penegak syariat Islam pada umumnya, FPI adalah organisasi tertutup dan menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan pendidikan semi militer dan militan. Anggota LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai dari Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali (panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).
Belakangan, FPI makin dikenal luas karena aktivitasnya yang menonjol dalam kancah politik Indonesia. Kelompok ini pertama kali dikenal karena keterlibatannya sebagai “PAM swakarsa” yang –dengan bersenjatakan golok dan pedang– menyerang para mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden RI dalam Sidang Istimewa MPR pada November 1998. Pada bulan yang sama, FPI terlibat dalam aksi penyerangan satpam-satpam Kristen asal Ambon di sebuah kompleks perjudian di Ketapang, Jakarta. Pada Desember 1999, ribuan anggota FPI menduduki Balai Kota Jakarta selama sepuluh jam dan menuntut penutupan seluruh bar, diskotik, sauna dan night club selama bulan Ramadhan. Selama tahun 2000, secara reguler kelompok militan ini menyerang bar, kafe, diskotik, sauna, rumah bilyard, tempat-tempat maksiat, dan tempat-tempat hiburan lainnya di Jakarta, Jawa Barat, dan bahkan di Lampung.
Dalam serentetan kejadian tersebut, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengeritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan –yang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat– bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya LPI untuk memaksakan kondisi kegaduhan terkendali (protection rackets) dengan membiarkan aksi tersebut terjadi, dan bahkan mengarahkan serangan tersebut ke sasaran tertentu.
Untuk memperjuangkan penegakkan syariat Islam, FPI mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad menjelang Sidang Tahunan (ST) MPR 2001 yang meminta MPR mengamandemen konstitusi, dan memberlakukan syariat Islam. FPI menuntut MPR/DPR mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta “dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam UUD 1945, baik pada batang tubuh maupun pembukaannya. Kelompok ini yakin bahwa krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia akan segera berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam. Pada 1 November 2001, FPI kembali melakukan aksi pada pembukaan sidang tahunan DPR/MPR, dan menyampaikan lima tuntutan. Tiga di antara tuntutan tersebut yang relevan dengan isu penegakan syariat, adalah: (1) Kembalikan 7 kata Piagam Jakarta; (2) Masukkan syariat Islam ke dalam UUD 1945; dan (3) Buat undang-undang anti maksiat.
Agustus 2002, pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), bersama 14 organisasi kemasyarakatan Islam lain –di antaranya adalah Front Hizbullah, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)– yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”, FPI menyampaikan “Petisi Umat Islam”. Petisi menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada amandemen UUD 1945 yang waktu itu sedang di bahas di MPR.
Agustus 2002, pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), bersama 14 organisasi kemasyarakatan Islam lain –di antaranya adalah Front Hizbullah, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)– yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”, FPI menyampaikan “Petisi Umat Islam”. Petisi menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada amandemen UUD 1945 yang waktu itu sedang di bahas di MPR.
Namun, anggota Dewan Penasihat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr. J. Soedjati Djiwandono berpendapat bahwa dimasukkannya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 yang diamandemen, justru dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan bangsa dan negara, mengingat karekteristik bangsa yang majemuk.
Selain dari aksi-aksinya yang kontroversial, FPI menjadi sangat terkenal setelah sebulan pasca Peristiwa 11 September 2001, majalah Time menurunkan laporan utama tentang jaringan Al Qaeda dengan judul “Inside Al Qaeda Bin Laden’s Web of Terror”, memasukkan nama Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI) sebagai kepanjangan tangan Al Qaeda di Indonesia. Kedua organisasi ini dikaitkan karena beberapa aktivitasnya. FPI ditandai dengan kegiatannya melakukan sweeping pada warga negara asing, terutama warga Amerika di Jakarta. Sedangkan, Laskar Jihaddikaitkan karena aktivitas gerakannya yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib ini, dalam Jihad Ambon. Apalagi, diketahui bahwa Ja’far Umar Thalib adalah salah satu alumnus Afghanistan, orang-orang Indonesia yang pernah turut berperang di Afghanistan melawan Uni Soviet.
Berlanjut ke Bagian 2
Berlanjut ke Bagian 2
– Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
sumber: https://socio-politica.com/2012/01/11/fpi-dengan-laskar-paramiliter-menentukan-otoritas-sendiri-1/
FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri (2)
KETIKA tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap Habib Rizieq, pemimpin FPI, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.
Namun, karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain, kehadiran FPI sering dikritik berbagai pihak, dan meresahkan masyarakat. Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Habib Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan menegaskan bahwa FPI akan mundur hanya bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.
Tuntutan pembubaran
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI, dan ajakan bergabung dalam aksi tersebut. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang atau tidak memahami Prosedur Standar FPI.
Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.
Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan kapan pelaksanaannya. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1985 tentang ormas yang belum dicabut, pendirian ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam, dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini agar konflik horizontal tidak meluas.
Masih pada bulan Juni 2006, tanggal 20, dalam acara diskusi “FPI, FBR, versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan, bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila, maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam, dan bukan oleh FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI tersebut berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas, dan polisi mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas itu. Setelah tidak ada yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka adalah Ketua Umum FPI Habib Rizieq. Sedangkan, Munarman, Ketua Laskar Islam, yang telah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui, ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang).
Pers memberitakan, bahwa pemerintah sendiri akan melakukan pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Dikatakan, bahwa pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat itu penting, agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan, dan tindakan tegas yakni pembubaran. Namun, hingga saat ini pemerintah ‘sulit’ untuk membubarkan FPI secara resmi, “karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum” ungkap Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata waktu itu.
Mengapa FPI menjadi begitu berkuasa?
Dari bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, dipaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/ bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan dalam telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.
Disebutkan bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut.
Lebih dahsyat lagi, sekitar Maret 2011 yang lalu, muncul isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (FUI), seperti yang dirilis Al Jazeera, stasiun televisi yang bermarkas di Timur Tengah. Dari posting yang diunduh dari situs jejaring sosial Multiply pada 4 Maret 2011 dalam susunan kabinet DRI ada nama Habib Rizieq bersama dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Dalam pernyataannya pada wartawan yang menghubunginya melalui telepon (29/3/2011), Sekjen FUI Muhammad Al-Khattath mengakui pihaknya yang mendeklarasikan DRI dengan tujuan untuk mengisi kevakuman kekuasaan negara, bila terjadi revolusi. Namun, Habib Rizieq yang disebutkan sebagai kepala negara DRI tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal kabinet DRI yang diberitakan itu. Begitu pula dengan nama-nama lainnya, semua ikut membantah (Sabili, Januari 2012/25 Safar 1433). Ternyata isu kudeta, yang konon dikomandani para jenderal itu hanya pepesan kosong belaka. Namun, yang menarik nama Habib Rizieq ternyata sudah mencuat ke atas permukaan dataran elitis politik di Indonesia.
Banyak pengamat politik yang curiga, bahwa isu kudeta tersebut hanya pengalihan isu karena pemerintah sedang terpojok oleh berbagai kasus korupsi yang menjerat lingkaran kekuasaan. Namun, ada juga yang mengatakan hal itu sebagai gejala kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas nasional. Pantas bila Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak berani menyentuh FPI, ormas Islam radikal yang semakin berani menentukan sikapnya sebagai oposan pemerintah untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Berita terbaru yang masih terkait konteks ‘penegakan hukum Islam’ ini, FPI bersama sejumlah barisan militan Islam lainnya, Kamis 21 Januari 2012, menyerbu dan merusak Departemen Dalam Negeri, karena menuding Menteri Gamawan Fauzi memerintahkan pencabutan perda miras (peraturan daerah larangan minuman keras) di daerah-daerah. Apakah FPI akan ditindaki dan ‘dibubarkan’ karenanya? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintah gentar melakukannya. Bila toh kali ini ada keberanian pemerintah menindaki FPI, setelah pusat pengaturan pemerintahan dalam negeri diserbu dan dirusak, itu adalah peristiwa luar biasa.
-Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
sumber: https://socio-politica.com/2012/01/13/fpi-dengan-laskar-paramiliter-menentukan-otoritas-sendiri-2/
FPI: Dengan Laskar Paramiliter, Menentukan Otoritas Sendiri (2)
KETIKA tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap Habib Rizieq, pemimpin FPI, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.
Namun, karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain, kehadiran FPI sering dikritik berbagai pihak, dan meresahkan masyarakat. Habib Rizieq menyatakan bahwa FPI merupakan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Menurut Habib Rizieq kekerasan yang dilakukan FPI dikarenakan kemandulan dalam sistem penegakan hukum, dan menegaskan bahwa FPI akan mundur hanya bila hukum sudah ditegakkan. Ia menolak anggapan bahwa beberapa pihak menyatakan FPI anarkis dan kekerasan yang dilakukannya merupakan cermin kebengisan hati dan kekasaran sikap.
Tuntutan pembubaran
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI, dan ajakan bergabung dalam aksi tersebut. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme. Sedangkan menurut Pengurus FPI, tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang atau tidak memahami Prosedur Standar FPI.
Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.
Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan kapan pelaksanaannya. Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1985 tentang ormas yang belum dicabut, pendirian ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam, dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini agar konflik horizontal tidak meluas.
Masih pada bulan Juni 2006, tanggal 20, dalam acara diskusi “FPI, FBR, versus LSM Komprador” Habib Rizieq menyatakan, bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta. FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila, maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Insiden Monas adalah sebutan media untuk peristiwa penyerangan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada tanggal 1 Juni 2008. Satu hari setelah peristiwa itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan Rapat Koordinasi Polkam yang membahas aksi kekerasan tersebut. Dalam jumpa pers, SBY mengatakan negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan, dan menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan tersebut telah mencoreng nama Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri.
Ketua Komando Laskar Islam, Munarman, mengoreksi pemberitaan media dan menyatakan bahwa penyerangan terhadap AKBB dilakukan oleh Komando Laskar Islam, dan bukan oleh FPI. Sehari sebelumnya Polisi menemui Habib Rizieq di markas FPI, Petamburan Jakarta, namun tidak melakukan penangkapan, karena ketua FPI tersebut berjanji akan menyerahkan anggotanya yang bertanggung jawab pada insiden Monas, dan polisi mengidentifikasi lima anggota FPI yang diduga terlibat dalam penyerangan di Lapangan Monas itu. Setelah tidak ada yang menyerahkan diri, pada 4 Juni 2008 sejumlah 1.500 anggota polisi dikerahkan ke Markas FPI di Jalan Petamburan III, Tanahabang, Jakarta Pusat dan menangkap 57 orang untuk diselidiki, di antara yang dijadikan tersangka adalah Ketua Umum FPI Habib Rizieq. Sedangkan, Munarman, Ketua Laskar Islam, yang telah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui, ditetapkan sebagai DPO Polisi (Daftar Pencarian Orang).
Pers memberitakan, bahwa pemerintah sendiri akan melakukan pengkajian terhadap keberadaan FPI berdasar UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan seperti yang dinyatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto. Dikatakan, bahwa pembinaan terhadap ormas yang ada di masyarakat itu penting, agar berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dapat berupa teguran, peringatan, dan tindakan tegas yakni pembubaran. Namun, hingga saat ini pemerintah ‘sulit’ untuk membubarkan FPI secara resmi, “karena keberadaan FPI tidak berlandaskan hukum” ungkap Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata waktu itu.
Mengapa FPI menjadi begitu berkuasa?
Dari bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, dipaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/ bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan dalam telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.
Disebutkan bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut.
Lebih dahsyat lagi, sekitar Maret 2011 yang lalu, muncul isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (FUI), seperti yang dirilis Al Jazeera, stasiun televisi yang bermarkas di Timur Tengah. Dari posting yang diunduh dari situs jejaring sosial Multiply pada 4 Maret 2011 dalam susunan kabinet DRI ada nama Habib Rizieq bersama dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Dalam pernyataannya pada wartawan yang menghubunginya melalui telepon (29/3/2011), Sekjen FUI Muhammad Al-Khattath mengakui pihaknya yang mendeklarasikan DRI dengan tujuan untuk mengisi kevakuman kekuasaan negara, bila terjadi revolusi. Namun, Habib Rizieq yang disebutkan sebagai kepala negara DRI tersebut mengaku tidak tahu-menahu soal kabinet DRI yang diberitakan itu. Begitu pula dengan nama-nama lainnya, semua ikut membantah (Sabili, Januari 2012/25 Safar 1433). Ternyata isu kudeta, yang konon dikomandani para jenderal itu hanya pepesan kosong belaka. Namun, yang menarik nama Habib Rizieq ternyata sudah mencuat ke atas permukaan dataran elitis politik di Indonesia.
Banyak pengamat politik yang curiga, bahwa isu kudeta tersebut hanya pengalihan isu karena pemerintah sedang terpojok oleh berbagai kasus korupsi yang menjerat lingkaran kekuasaan. Namun, ada juga yang mengatakan hal itu sebagai gejala kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas nasional. Pantas bila Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak berani menyentuh FPI, ormas Islam radikal yang semakin berani menentukan sikapnya sebagai oposan pemerintah untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.
Berita terbaru yang masih terkait konteks ‘penegakan hukum Islam’ ini, FPI bersama sejumlah barisan militan Islam lainnya, Kamis 21 Januari 2012, menyerbu dan merusak Departemen Dalam Negeri, karena menuding Menteri Gamawan Fauzi memerintahkan pencabutan perda miras (peraturan daerah larangan minuman keras) di daerah-daerah. Apakah FPI akan ditindaki dan ‘dibubarkan’ karenanya? Sembilan dari sepuluh kemungkinan, pemerintah gentar melakukannya. Bila toh kali ini ada keberanian pemerintah menindaki FPI, setelah pusat pengaturan pemerintahan dalam negeri diserbu dan dirusak, itu adalah peristiwa luar biasa.
-Ditulis untuk sociopolitica oleh: Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
Republik Laskar
Republik Laskar
Oleh Zen RS | Newsroom Blog, 25 Jul 2013
PADA masa revolusi, milisi atau paramiliter sering mengatasnamakan revolusi. Pada masa Orde Baru, nama Pancasila dan NKRI “Harga Mati” yang digunakan. Pada masa reformasi, banyak yang membawa-bawa nama Islam.
Apa persamaannya? Milisi atau paramiliter di tiga masa itu sama-sama (walau tak selalu) didirikan atau dibentuk militer, dipersenjatai atau mempersenjatai diri, dan akhirnya cenderung kebal hukum.
Legitimasi “moral” yang mereka miliki, atas nama revolusi atau Pancasila atau Islam, membuat mereka memiliki kewibawaan yang meneror.
Tentu saja ada banyak kategori milisi. Ada yang memang dibentuk sebagai pasukan cadangan resmi tentara yang biasanya direkrut lewat wajib militer. Tetapi yang ingin saya bicarakan kali ini kebanyakan adalah milisi yang “tidak resmi” atau bukan dibentuk oleh negara. Kendati, seperti yang akan saya tunjukkan, “resmi” atau “tidak resmi” sering kali jadi perkara sumir di Indonesia.
Di Indonesia, istilah “laskar” sebenarnya lebih populer ketimbang sebutan “milisi”. Istilah “laskar” itu juga lebih lentur untuk mengakomodasi tendensi-tendensi militeristik yang tidak terang-terangan menenteng senjata api.
Istilah “laskar” ini sudah populer sejak masa revolusi. Saat itu, hampir di setiap kota terdapat laskar yang dibentuk secara organis, biasanya oleh para pemimpin lokal yang berpengaruh. Di Bandung ada Barisan Tangan Merah, Barisan Merah Putih, dan lain-lain. Di sekitar Jakarta ada Laskar Hitam, Laskar Ubel-ubel, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di kota-kota lain, terutama kota-kota besar yang jadi kancah utama revolusi.
Ada juga laskar-laskar yang dibentuk dengan skala yang lebih serius, terutama oleh organisasi-organisasi politik utama saat itu. Partai Sosialis yang dibentuk Amir Sjarifuddin, misalnya, punya organisasi pemuda bernama Pesindo yang sangat kuat, berdisiplin dan juga bersenjata lengkap (terutama karena Amir dua kali menjabat sebagai Menteri Pertahanan).
Tidak semua laskar ini punya disiplin dalam mematuhi perintah pemerintah RI. Sangat banyak dan sangat biasa laskar-laskar itu bergerak semaunya, saling bertempur satu sama lain. Dan atas nama revolusi, banyak sekali rakyat Indonesia sendiri yang menjadi korban keganasan mereka.
Hampir semua literatur yang membahas fase revolusi (1945-1949) tak pernah absen menyebut keberadaan laskar-laskar milisi ini.
Tidak semua laskar ini punya disiplin dalam mematuhi perintah pemerintah RI. Sangat banyak dan sangat biasa laskar-laskar itu bergerak semaunya, saling bertempur satu sama lain. Dan atas nama revolusi, banyak sekali rakyat Indonesia sendiri yang menjadi korban keganasan mereka.
Hampir semua literatur yang membahas fase revolusi (1945-1949) tak pernah absen menyebut keberadaan laskar-laskar milisi ini.
Tak hanya buku hasil sejarah, karya-karya sastra terbaik Indonesia juga banyak mengabadikan hal ini. Sebut saja: “Burung-burung Manyar” Romo Mangun, “Senja di Jakarta” Mochtar Lubis atau “Percikan Revolusi + Subuh” Pramoedya Ananta Toer.
PADA masa kepemimpinan Soekarno di era Demokrasi Terpimpin, milisi-milisi ini banyak dibentuk oleh partai-partai politik saat itu –melanjutkan yang memang sudah terjadi pada masa revolusi. Beberapa di antaranya bahkan memang sudah berdiri sejak masa revolusi. Milisi di era Soekarno semakin menguat setelah Indonesia mengkampanyekan konfrontasi melawan Malaysia. Banyak sekali pemuda yang direkrut atau bahkan sukarela mendaftarkan diri untuk dilatih dan dikirim ke perbatasan Malaysia di Kalimantan.
Menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia bahkan gigih berupaya menggolkan Angkatan ke-5 di mana buruh dan tani akan dipersenjatai. Puncak dari fase ini dimulai dengan terbunuhnya para jenderal di Lubang Buaya. Kebetulan di sekitar itu ada lokasi pelatihan militer Angkatan ke-5 yang terutama menggunakan fasilitas dan pelatihan dari Angkatan Udara yang saat itu memang dekat dengan PKI.
Setelah itu, dimulailah pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang yang diduga PKI (“diduga”, karena memang tidak melalui proses peradilan). Militer Indonesia tentu saja menjadi bagian terpenting pembantaian ini –atau penumpasan dalam istilah resmi Orde Baru. Tapi selain militer, milisi adalah ujung tombak pembantaian orang-orang yang diduga PKI ini.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, Banser dan GP Anshor menjadi salah satu pelaku pembantaian, tentu saja dengan restu dan sokongan dari para kyai. Di Bali, milisi-milisi yang dilatih dan disokong tentara, terutama dari sayap Partai Nasional Indonesia, juga melakukan hal yang sama. Seperti halnya di Jawa Timur, mereka melakukannya dengan sokongan spiritual dari pemimpin Hindu di sana. Sedihnya, banyak dari mereka kemudian balik dibantai oleh tentara yang ingin menghilangkan jejak keterlibatan.
Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.
Di tempat lain, hal serupa terjadi. Dengan sokongan dan kepastian kebal hukum yang diberikan tentara, milisi-milisi ini dengan buas memburu dan membantai siapa saja yang diduga PKI. Bukan sekali-dua terjadi salah eksekusi. Atau, bahkan, itu sebenarnya bukan salah eksekusi, tapi memang disengaja dengan membawa-bawa urusan pribadi ke “urusan nasional” ini.
Dalih yang dipakai adalah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, juga dalih bahwa melawan musuh negara berarti juga musuh agama. Nasionalisme dan agama, pada fase ini, benar-benar menjadi kombinasi mematikan yang tidak alang kepalang buasnya.
Pada masa Orde Baru, milisi-milisi ini banyak yang kemudian “bersalin rupa” menjadi lebih lembut, tidak terang-terangan lagi mengeksekusi dan membantai. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal.
Pada masa Orde Baru, milisi-milisi ini banyak yang kemudian “bersalin rupa” menjadi lebih lembut, tidak terang-terangan lagi mengeksekusi dan membantai. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal.
Lagi-lagi anda hanya perlu menonton film “The Act of Killing” untuk melihat bagaimana Pemuda Pancasila dengan terang-terangan memalak toko-toko orang Cina di Medan.
TAPI Orde Baru juga melakukan hal serupa seperti yang terjadi di era Soekarno. Negara membentuk milisi di wilayah-wilayah konflik seperti Irian Jaya, Timor Timur dan juga Aceh. Nama-nama sangar seperti Eurico Guterres sampai Hercules adalah alumni generasi ini. Hercules, misalnya, “dibawa” oleh Prabowo Subianto (yang kini hendak jadi presiden) ke Jakarta dan sejak itulah namanya mencuat dalam dunia gangster ibu kota.
Memasuki era reformasi, kebiasaan buruk negara dan tentara dalam membentuk milisi, baik resmi maupun tidak, terus berlanjut.
Pam Swakarsa, misalnya, muncul di era kepemimpinan Habibie dan saat Wiranto (yang juga hendak jadi presiden) menjabat sebagai menteri pertahanan. Front Pembela Islam (FPI) lahir dari perkembangan terbaru saat itu ketika Pam Swakarsa dibentuk untuk melawan kekuatan kritis yang menolak kepemimpinan Habibie.
FPI bukan satu-satunya. Muncul juga Gerakan Pemuda Ka’bah yang di Jogja banyak melakukan razia seperti halnya FPI. Ada juga Laskar Jihad yang dikirim ke tengah konflik di Ambon. Belum lagi kemunculan organisasi paramiliter bentukan partai-partai politik. Atau bahkan organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kedaerahan.
FPI adalah anak kandung tradisi panjang negara yang doyan membentuk, memelihara atau membiarkan lahirnya milisi, paramiliter, laskar-laskar dan organisasi-organisasi yang doyan meneror. Sebab, apa pun dalihnya, demi revolusi atau demi Pancasila atau demi Islam, semuanya dicirikan oleh hal yang sama: kekerasan.
DAN di hadapan tradisi panjang seperti itu, apa yang bisa kita harapkan dari seorang presiden yang rajin mengetwit?
(socio-politica.com/ Sumber: Newsroom Blog)
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (1)
George J. Aditjondro*
Catatan Pengantar: Tulisan George Junus Adicondro ini yang sebenarnya adalah sebuah makalah, tentang konflik di Maluku (Ambon) pada akhir 1990an, tak lama setelah lengsernya Soeharto,
kini banyak disajikan kembali melalui berbagai media di jaringan internet. Penyebutan sejumlah nama yang disebut George sebagai ‘orang-orang Jakarta’, tentu menjadi salah satu bagian paling menarik. Terutama karena nama-nama itu tak asing dalam dunia politik Indonesia selama ini, dan banyak di antaranya masih bertahan dalam dunia politik. Ada pula pemilik uang yang dikenal sebagai penyandang dana bagi banyak tokoh politik dan kekuasaan dari masa ke masa. Selain itu, bahkan, beberapa di antaranya saat ini siap terjun dalam arena perebutan kursi kekuasaan RI- 1dan berbagai posisi penting lainnya di negara ini tahun 2014. Apakah dengan masih berkiprahnya tokoh-tokoh yang sama dari waktu ke waktu dalam kehidupan politik hingga kini, perilaku politik ‘memelihara’ konflik di tengah masyarakat bukannya akan bertahan sebagai suatu pola yang menetap?
TRAGEDI kerusuhan sosial di Maluku, menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Ichsan Malik, dalam dua setengah tahun terakhir telah menelan lebih dari 9000 korban jiwa. Ia menyebutnya sebagai ‘tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia’ belakangan ini (Kompas, 30 Maret 2001).
Pandangan umum yang beredar di Indonesia adalah bahwa konflik itu murni timbul karena persaingan antara kedua kelompok agama –Kristen dan Islam– di Maluku, atau karena ulah ‘sisa-sisa kelompok separatis RMS’ di sana. Berbeda dengan pandangan umum itu, penelitian kepustakaan dan wawancara-wawancara penulis dengan sejumlah sumber di Maluku dan di luar Maluku menunjukkan bahwa tragedi itu secara sistematis dipicu dan dipelihara oleh sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta, untuk melindungi kepentingan mereka.
Dalam makalah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana konflik itu dipicu dengan bantuan sejumlah preman Ambon yang didatangkan dari Jakarta, lalu mengalami eskalasi setelah kedatangan ribuan anggota Lasykar Jihad dari Jawa. Intensitas konflik dipelihara oleh satu jaringan militer aktif dan purnawirawan, yang terentang dari Jakarta sampai ke Ambon. Selanjutnya, penulis juga akan mengungkapkan agenda militer dalam memelihara kerusuhan-kerusuhan itu.
Akhirnya, dalam kesimpulan penulis akan mengajukan beberapa usul untuk penyelesaian kasus Maluku.
Jaringan Preman Ambon
Pada tahun 1980-an, seorang preman Ambon beragama Kristen di Jakarta, Ongkie Pieters membangkitkan rasa hormat dan ketakutan di kalangan kaum muda Ambon, tanpa menghiraukan agama mereka. Meskipun penghidupan mereka didapatkan lebih dengan menggunakan otot ketimbang otak, para preman Ambon di Jakarta masih menghormati tradisi pela (persekutuan darah antara kampung Kristen dan kampung Islam). Kalau berkelahi, mereka sering memakai ikat kepala merah, yang lebih merupakan simbol ke-Ambon-an yang berakar dalam kultur Alifuru ketimbang lambang agama Samawi yang mereka anut.
Hal ini secara radikal berbeda dengan makna yang kini diberikan terhadap ‘merah’ sebagai simbol Kristen dan ‘putih’ sebagai simbol Islam. Tidak berapa lama, seorang preman Ambon yang lain, Milton Matuanakotta muncul ke tengah-tengah gelanggang. Ia memiliki banyak pendukung di kalangan kaum muda baik di kalangan Ambon Kristen maupun Muslim, dan dengan cepat menjadi lebih populer di kalangan preman Ambon di Jakarta daripada pendahulunya. Pada saat itu, orang-orang Ambon Muslim beranggapan perlu memiliki ‘pahlawan’ mereka sendiri, maka mereka memilih Dedy Hamdun, seorang Ambon keturunan Arab. Figur ini agak kontroversial, sebab di satu sisi ia aktif berkampanye untuk PPP, tetapi di sisi lain suami artis Eva Arnaz itu juga bekerja untuk membebaskan tanah bagi bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar bekas Presiden Soeharto.
Entah karena aktivitas politik atau bisnisnya, di awal 1998 Dedy Hamdun diculik bersama sejumlah aktivis PRD, Aldera, dan PDI-P oleh satu regu Kopassus bernama Tim Mawar yang berada di bawah komando Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto waktu itu. Hilangnya Hamdun setelah 3 1/2 bulan dalam tahanan Tim Mawar (Siagian 1999: 20-21) mengubah peta politik preman Ambon di Jakarta. Kepemimpinan pemuda Muslim Maluku diambilalih oleh Ongen Sangaji, seorang preman Maluku Muslim yang juga anggota Pemuda Pancasila. Secara ironis, dalam bersaing untuk loyalitas di kalangan kaum muda Maluku di Jakarta kedua pemimpin preman itu juga bersaing dalam mendapatkan akses ke bisnis keamanan pribadi anak-anak Soeharto. Milton memperoleh akses ke mereka melalui Yorris Raweyai, wakil ketua Pemuda Pancasila yang berasal dari Papua Barat dan dekat dengan Bambang Trihatmodjo.
Selain itu, Milton adalah ipar Tinton Soeprapto, pimpinan arena pacuan mobil milik Tommy Soeharto di Sentul, Bogor. Sementara itu, Ongen lebih dekat ke Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut melalui Abdul Gafur, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman pemerintahan Soeharto. Anak buah Ongen terutama berasal dari desa-desa Pelauw dan Kalolo di Haruku. Menjelang Sidang Istimewa MPR November 1998, ketika B.J.Habibie berusaha mencari mandat untuk melegitimasi kepresidenannya, sejumlah politisi, jendral dan usahawan menciptakan kelompok paramiliter baru untuk menangkal aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie.
Kelompok Pam Swakarsa ini antara lain terdiri dari preman-preman Ambon Muslim yang direkrut oleh Ongen Sangaji. Dukungan keuangan untuk kelompok ini berasal dari keluarga Soeharto dan seorang pengusaha keturunan Arab, Fadel Muhammad, yang dekat dengan keluarga Soeharto. Sementara dukungan politis untuk kelompok itu berasal dari Jenderal Wiranto, Menteri Pertahanan waktu itu, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Kepala Staf KOSTRAD waktu itu, Abdul Gafur, Wakil Ketua MPR waktu itu, dan Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman.
Untuk meningkatkan militansi para milisi yang miskin dan berpendidikan rendah itu, mereka diindoktrinasi bahwa para aktivis mahasiswa adalah “orang-orang komunis” yang didukung oleh jendral dan pengusaha Kristen. Dengan demikian banyak anggota PAM Swakarsa beranggapan bahwa mereka ber’jihad’ melawan “orang kafir”. Kenyataan bahwa bentrokan yang paling sengit antara para mahasiswa dan tentara terjadi di kampus Universitas Katolik Atmajaya, hanya karena kedekatan kampus itu dengan gedung parlemen, memberikan kesan kredibilitas dari propaganda sektarian dan anti komunis ini.
Dalam kerusuhan Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR itu, empat orang anak buah Ongen yang berasal dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu (Ambon), dan Kei (Maluku Tenggara), dibunuh oleh penduduk setempat yang berusaha melindungi para aktivis mahasiswa dari serangan kelompok milisi Muslim itu. Maka terbukalah peluang untuk menghasut preman-preman Ambon Islam itu untuk melakukan balas dendam. Konyolnya, balas dendam itu tidak diarahkan terhadap para aktivis mahasiswa, tetapi terhadap sesama preman Ambon yang beragama Kristen. Kesempatan itu timbul ketika terjadi kerusuhan di daerah Ketapang, Jakarta Pusat, pada hari Minggu dan Senin, 22-23 November 1998.
Apa yang dimulai adalah percekcokan antara para satpam Ambon Kristen yang menjaga sebuah pusat perjudian dan penduduk setempat segera berkembang menjadi kerusuhan anti Kristen di mana lusinan gereja, sekolah, bank, toko, dan sepeda motor dihancurkan. Ternyata, kekuatan-kekuatan dari luar dikerahkan untuk mengubah konflik lokal itu menjadi konflik antar-agama. Kekuatan-kekuatan luar ini mencakup sekelompok orang yang mirip orang Ambon, yang menyerang lingkungan Ketapang pada jam 5.30 pagi. Mereka dibayar Rp 40.000 ditambah makan tiga kali sehari untuk menteror orang-orang Muslim setempat. Meskipun salah seorang dari mereka yang tertangkap adalah orang Batak yang kemudian disiksa dan dibunuh oleh penduduk setempat, namun mayoritas preman ini adalah orang Ambon anggota PAM Swakarsa bentukan Gafur. Mereka yang menyerang semua penduduk setempat yang terlihat melintas di sekitarnya dan membakar semua sepeda motor yang diparkir di depan mesjid setempat yang menyebabkan jendela-jendela mesjid itu pecah.
Dipicu oleh kabar angin bahwa sebuah mesjid telah dibakar oleh ‘orang-orang kafir’, penduduk Muslim setempat balik menyerang orang-orang luar tadi dengan dukungan para anggota Front Pembela Islam (FPI) yang didatangkan dari berbagai tempat di Jakarta. Selama kerusuhan ini, enam orang meninggal korban main hakim sendiri oleh penduduk Muslim setempat dan para anggota FPI. Tiga orang dari korban itu adalah orang-orang Kristen dari Saparua dan Haruku. Memang tidak jelas apakah rangkaian pembunuhan terhadap para preman Ambon di Senayan dan Ketapang itu telah dipersiapkan oleh sekutu-sekutu politik Soeharto. Yang jelas, kerusuhan di Ketapang mengukuhkan monopoli sebuah pusat perjudian lain di jalan Kunir, Jakarta. Pusat perjudian itu dikelola oleh Tomy Winata, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan teman dekat Yorris Raweyai dari Pemuda Pancasila.
Terlepas dari motif di balik pembakaran pusat perjudian di Ketapang, pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku. Dengan menggunakan kerusuhan Ketapang sebagai alasan, aparat keamanan di Jakarta menangkap semua orang Maluku yang tidak memiliki KTP, dan menaikkan mereka ke kapal penumpang sipil maupun Angkatan Laut yang berlayar ke Ambon. Menurut seorang sumber penulis yang berlayar dengan KM Bukit Siguntang ke Ambon pada bulan Desember 1998, sekelompok preman Ketapang yang menumpang di geladak kapal dengan suara keras menggembar-gemborkan niat mereka untuk membalas dendam terhadap musuh mereka di Ambon.
Di mata orang awam, langkah-langkah aparat keamanan ini tidak tampak mencurigakan, karena banyak orang Ambon Kristen pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Natal, sementara banyak orang Ambon Muslim juga merencanakan untuk melalui bulan puasa dan liburan Idul Fitri bersama sanak keluarga di kampung mereka.
Baru kemudian tersebar berita bahwa antara 165 dan 600 pemuda Ambon telah berlayar pulang ke Ambon selama akhir tahun 1998. Di antara mereka terdapat preman Ambon Kristen yang terlibat dalam serangan fajar di Ketapang, maupun Sadrakh Mustamu, kepala keamanan di pusat perjudian Ketapang. Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta juga termasuk preman Ambon yang pulang ke Ambon pada akhir tahun 1998, untuk menyulut kerusuhan di sana.
*George Junus Aditjondro, seorang jurnalis –di Majalah Tempo– yang kemudian menjadi seorang akademisi. Menulis serial buku “Gurita Cikeas”.
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (2)
George J. Aditjondro*
PREMAN Ambon yang datang dari Jakarta, segera melebur ke dalam kalangannya masing-masing. Di kotamadya Ambon yang berpenduduk hampir 350 ribu jiwa itu, dunia preman dikuasai oleh dua orang tokoh yang berbeda kepribadiannya, Berty Loupati yang masih muda lebih merupakan seorang preman profesional, serta Agus Wattimena yang tua, seorang penatua (anggota Majelis Gereja) yang juga jago berkelahi.
Berty Loupati adalah pemimpin kelompok ‘Coker’ yang didirikannya awal 1980-an di daerah Kudamati dekat RS Dr. Haulussy setelah ia pulang dari “berguru” ilmu kriminalitas kelas teri (petty crime) di Surabaya. Kelompok ini adalah hasil peleburan kelompok-kelompok preman yang lebih kecil di Ambon, seperti Van Boomen, Papi Coret, Sex Pistol. Anggota kelompok preman gabungan itu kurang lebih seratus orang, Nasrani maupun Muslim.
Walaupun anggotanya ada juga yang perempuan, Coker semula merupakan kepanjangan dari “Cowok Keren” (‘Handsome Boys’), walaupun kemudian ada yang mempelesetkan arti Coker menjadi Cowok Kerempeng (‘Skinny Boys’), karena kebanyakan anggotanya memang kurus kerempeng. Di kemudian hari, setelah konflik antar-agama mulai berkecamuk di kota Ambon, majalah mingguan Tajuk (April 1999) mengubah arti Coker menjadi ‘Cowok Keristen’ (‘Christian Boys’). Singkatan “Cowok Kristen” itu kemudian dipopulerkan oleh media massa yang mendukung kehadiran Lasykar Jihad di Maluku.
Di luar struktur Coker, Agus Wattimena mendirikan Lasykar Kristus, khusus dibentuk untuk berperang melawan kelompok milisi Islam asli Ambon serta Lasykar Jihad yang datang dari luar Ambon. Jagoan yang sering menyandang pistol Colt kaliber 45 mengaku punya 60 ribu anak buah (Hajari 2000). Tidak jelas seberapa jauh kebenaran klaim Agus itu. Yang jelas, adanya dua kelompok yang sama-sama mengklaim membela kepentingan masyarakat Ambon Kristen menimbulkan rivalitas yang sangat tajam antara Berty dan Agus, apalagi setelah beredar kabar burung bahwa Berty mulai condong ke kepentingan penguasa dari Jakarta. Tidak lama setelah nama Agus Wattimena diumumkan sebagai “Pimpinan Akar Rumput” (Grassroots Leader) Front Kedaulatan Maluku (FKM), yang diproklamasikan oleh dokter Alex Manuputty dan kawan-kawannya pada tanggal 18 Desember 2000, riwayat Agus tampaknya sudah tamat.
Hari Selasa malam, 20 Maret 2001, Agus Wattimena tewas tertembak di rumahnya sendiri, dengan dua lubang tembakan di jidat dan lengan kirinya (Jakarta Post, 22 Maret 2001). Menurut sumber-sumber Lasykar Jihad (laskarjihad.or.id, 21 Maret 2001), “Agus ditembak oleh pesaingnya, Berty Loupatty, kepala geng Coker (Cowok Kristen), yang satu daerah dengan Agus. Berty dan Agus memang akhir-akhir ini sudah tidak akur dan pernah terlibat baku tembak melibatkan seluruh anak buah mereka di kawasan Kudamati beberapa bulan lalu”.
Namun melihat pola adu domba antara sesama kelompok sipil yang semakin sering dilakukan oleh kelompok-kelompok militer di berbagai penjuru Nusantara, bisa saja Agus Wattimena ditembak mati oleh seorang sniper profesional. Soalnya, ia baru dibunuh setelah melibatkan diri secara langsung dalam sebuah organisasi yang terang-terangan memperjuangkan kedaulatan rakyat Maluku yang diproklamasikan oleh RMS tahun 1950. Jadi saat itu ia bukan lagi sekedar panglima satu kelompok milisi yang semata-mata memperjuangkan keselamatan separuh penduduk kota Ambon yang beragama Kristen.
Kendati demikian, buat kebanyakan orang Ambon yang beragama Kristen, kematian laki-laki setengah ompong berumur 50 tahun itu tetap dihargai sebagaimana layaknya gugurnya seorang pahlawan. Ia dikuburkan di tengah-tengah 400 orang anakbuahnya yang telah meninggal terlebih dahulu di kota Ambon. Kematiannya tidak hanya diperingati di kota Ambon, tapi juga oleh masyarakat Ambon Kristen di Jakarta, dihadiri oleh sejumlah artis terkenal. Sementara itu, Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta sudah sama-sama bersembunyi untuk menghindarkan diri dari kemarahan masyarakat Ambon di Jakarta. Ongen kabarnya telah bersumpah untuk tidak akan terlibat lagi dalam proyek kerusuhan di tempat-tempat lain di Indonesia, sedangkan Milton kabarnya disembunyikan atas perintah Jenderal (Purn.) Wiranto, yang peranannya akan dibahas kemudian dalam makalah ini.
Eskalasi dua tahap
Setelah dipicu oleh para preman Ambon dari Jakarta, konflik di Maluku dapat dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama mulai Januari 1999 sampai dengan akhir April 2000, dan ditandai oleh saling menyerang antara penduduk Kristen dan Muslim yang sebagian besar menggunakan senjata primitif buatan sendiri, termasuk bom rakitan. Ada keseimbangan kekuatan antara kedua belah fihak. Selanjutnya, fase kedua mulai dari bulan Mei 2000, yang ditandai oleh kedatangan orang non-Maluku, yang sebagian besar adalah orang Muslim dari Jawa, Sulawesi, dan Sumatera, yang dikenal sebagai Lasykar Jihad.
Mereka membawa senjata modern dan bersekutu dengan personil militer Muslim yang berjumlah 80 persen dari pasukan yang ditempatkan di kepulauan rempah-rempah itu. Perkembangan ini secara total menghancurkan keseimbangan sebelumnya, dan menciptakan perimbangan kekuatan yang menguntungkan orang Muslim.
Selama tahap pertama, ketika secara relatif jumlah orang yang terbunuh masih sedikit dan tingkat kebencian antar agama belum mencapai klimaksnya, maka operasi intelijen direncanakan secara cermat untuk mengkondisikan kedua komunitas menerkam leher satu sama lain, segera setelah kerusuhan sosial dipicu. Operasi-operasi intelijen ini mencakup penyaluran pamflet-pamflet provokatif di kalangan penduduk dan penyaluran handie-talkie di kalangan pemimpin kelompok-kelompok setempat agar kerusuhan dapat dipicu secara simultan dalam jangkauan yang luas. Beberapa pamflet tanpa nama yang disebarkan di Ambon menjelang kerusuhan bulan Januari dan Februari 1999, memperingatkan kedua belah pihak, bahwa pihak lain sedang merencanakan untuk membakar rumah-rumah ibadah mereka, dan memperingatkan sebuah kelompok etnik bahwa kelompok etnik lain sedang merencanakan untuk membinasakan mereka.
Pamflet-pamflet serupa disebarkan di kalangan kaum Muslim di Maluku Utara, menjelang kerusuhan bulan Agustus dan November 1999. Ditandatangani oleh para pemimpin gereja Protestan di Ambon, isi pamflet-pamflet itu mendesak orang Kristen untuk membinasakan semua orang Muslim. Salah satu pamflet jatuh ke tangan aparat desa di Tidore. Sebuah pertemuan diadakan dan ketika pendeta setempat, Ari Risakotta, tidak muncul untuk menjelaskan isi surat itu, ia diserang dan dibunuh di rumahnya. Mengingat bahwa pertarungan yang masih berlangsung di Ambon, rasanya sangat tidak mungkin bahwa ada pemimpin gereja menginginkan konflik itu merambat ke daerah lain di kepulauan itu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pamflet-pamflet ini dibuat oleh para agitator yang sangat profesional, yang mengenal masyarakat Maluku Utara dengan sangat baik. Akhirnya, setelah perang saudara berlangsung beberapa bulan dan kedua belah fihak telah banyak saling membunuh, seruan jihad dikumandangkan oleh organisasi-organisasi militan Muslim yang didukung oleh sejumlah politisi Muslim dalam tablig akbar pada tanggal 7 Januari 2000 di Lapangan Monas Jakarta, yang menjadi platform untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan Lasykar Jihad, untuk dikirim ke Maluku.
Sepintas lalu, semua perkembangan ini tampak berlangsung secara spontan. Tetapi di bawah permukaan, ada dua jaringan yang saling berhubungan, yakni jaringan militer dan jaringan Muslim militan, yang masing-masing punya agenda sendiri, tetapi dipersatukan oleh tujuan bersama untuk menyabot tujuan pemerintah untuk menurunkan kekuasaan militer dan untuk menciptakan masyarakat yang terbuka, toleran, dan bebas dari dominasi suatu agama.
Jaringan Militer
Jaringan militer yang menjembatani kedua tahap itu terentang dari Jakarta sampai ke Ambon, dan terdiri dari perwira-perwira aktif maupun purnawirawan yang bekerja keras untuk memprovokasi orang-orang Muslim dan Kristen untuk bertarung. Mereka termasuk dalam faksi militer yang dengan kuat menentang pengurangan politik dan kepentingan bisnis militer, atau ikut dalam jaringan ini untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari sorotan dan kemungkinan pengadilan atas pelanggaran hak-hak asasi manusia serta kejahatan melawan kemanusiaan.
Dua orang jendral purnawirawan, tiga orang jendral aktif, dan seorang pensiunan perwira TNI/AU, terlibat dalam jaringan ini. Mereka terdiri dari Jendral (Purn.) Wiranto, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, Letjen Djadja Suparman, Letjen Suaidy Marasabessy, Mayjen Sudi Silalahi, dan Mayor TNI/AU (Purn.) Abdul Gafur.
Wiranto adalah Panglima Angkatan Bersenjata yang bertanggungjawab atas pesta pora kekerasan dan kehancuran pasca referendum di Timor Lorosa’e pada bulan September 1999, dan juga bertanggungjawab atas pecahnya kekerasan di Ambon, delapan bulan kemudian.
Nama Kivlan Zein, pernah dikemukakan sekali oleh Abdurrahman Wahid, walaupun dengan secara agak tersamar, yakni “Mayjen K” (Tempo, 29 Maret 1999: 32-33). Menurut informasi yang saya peroleh, Kivlan Zein, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf KOSTRAD, memang ditugaskan oleh Wiranto untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Tugas itu antara lain dilaksanakan dengan pembentukan PAM Swakarsa, yang sebagian besar beragama Islam.
Untuk melakukan tugas-tugas counter-insurgency semacam itu, Kivlan Zein punya satu sumber dana yang luar biasa, yakni kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (TRUBA), di mana ia duduk sebagai komisaris (Kompas, 3 November 2000). Awal November tahun lalu, anggota Komisi I DPR, Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mendesak Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI agar secara serius menindaklanjuti hasil auditing BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terhadap sejumlah yayasan milik TNI, yang baru saja dilaporkan ke DPR.
Di situ termasuk bisnis Yayasan Kartika Eka Paksi, pemilik seluruh saham TRUBA itu. Sayangnya, seruan politisi PKB itu tidak ditanggapi oleh pemerintah maupun para anggota DPR yang lain. Djadja Suparman adalah Pangdam Jaya yang ikut bertanggungjawab atas pembentukan PAM Swakarsa. Setelah dipromosikan menjadi Pangkostrad, ialah yang memerintahkan pasukan Kostrad di Makassar untuk terbang ke Ambon, hanya satu jam setelah bentrokan antara seorang pengendara angkutan umum Ambon Kristen dan seorang penumpang Bugis Muslim pecah di Ambon pada tanggal 14 Januari 1999.
Belakangan ini ada sinyalemen di Jakarta, bahwa korupsi sebesar Rp 173 milyar di lingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itu masih berada di bawah Djadja Suparman (Tempo, 24-30 April 2001, Laporan Utama), ada hubungan dengan kerusuhan di Maluku. Sebagian dana itu digunakan untuk membiayai pelatihan dan pengiriman 6000 orang anggota Lasykar Jihad ke Maluku. Paling tidak, begitulah yang dipercayai oleh para anggota Kongres AS, yang menolak normalisasi kerjasama militer antara AS dan Indonesia.
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (3)
George J. Aditjondro*
SEPERTI yang telah disinggung di depan, Abdul Gafur yang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga di bawah Soeharto itu ikut terlibat dalam pembentukan pasukan PAM Swakarsa tersebut, khususnya kelompok preman Maluku Muslim yang diketuai oleh Ongen Sangaji. Di kalangan orang Maluku di Jakarta, ia dikenal sangat tekun berusaha memecah-belah masyarakat Maluku berdasarkan garis agama. Pada 15 Mei 1995, ketika komunitas Ambon di Jakarta memperingati pemberontakan Pattimura melawan Belanda pada tahun 1817, Gafur memboikot perayaan orang Maluku di Gedung Joang di lingkungan Menteng di mana dua pemuka agama –Kristen dan Muslim– memanjatkan doa mereka. Ia sebaliknya mengorganisir perayaan eksklusif bagi orang Maluku Muslim di Taman Mini Indonesia Indah dengan mengorganisir lari membawa obor. Pada kesempatan lain, Gafur mengatakan bahwa Pattimura beragama Islam, bertentangan dengan pandangan umum bahwa pahlawan nasional itu, yang sesungguhnya bernama Thomas Matulessy, beragama Kristen.
Setelah kerusuhan meletus di Ambon, dan propinsi Maluku dipecah dua menjadi Maluku Utara dan Maluku, Gafur yang beradarah campiran Ternate dan Acheh itu segera berkampanye untuk menjadi kandidat Gubernur Maluku Utara, memanfaatkan koneksi-koneksi Golkarnya. Ketua DPP Golkar yang juga ketua DPR-RI, Akbar Tanjung, mendukung pencalonan Gafur oleh Golkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPRD Maluku Utara (Gamma, 17-23 Jan. 2001, hal. 39; Mandiri, 28 Febr. 2001), namun sejumlah cendekiawan asal Maluku Utara menentang pencalonan orang yang selama ini sangat bersikap menjilat pantat Soeharto dan keluarganya.
Tidak lama setelah kerusuhan meletus di kota Ambon, mulai beredar kabar-kabar burung bahwa kerusuhan itu didalangi oleh orang-orang Maluku Nasrani, yang ingin menghidupkan kembali ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) yang pernah dicetuskan di Ambon pada tanggal 25 April 1950, dan meneruskan perjuangan mereka lewat gerilya bersenjata di Pulau Seram hingga tahun 1964. Tuduhan itu, di mana cap ‘RMS’ selanjutnya dipelesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’, yang akan dibahas tersendiri di bagian ini, sejak dini ikut disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi dalam pemerintahan Habibie. Dalam sebuah pertemuan publik pada tanggal 19 Maret 1999 dengan gubernur Maluku, para pemimpin agama dan informal lain, serta para mahasiswa dan pemuda di Ambon, Hendropriyono melontarkan tuduhan itu. Seorang jendral purnawirawan lain, Feisal Tanjung, yang pernah menjadi Pangab dalam kabinet Soeharto, segera menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono itu.
Hendropriyono, memang punya kepentingan praktis untuk menyebarluaskan tuduhan itu. Soalnya, setelah Soeharto dipaksa turun dari takhta kepresidenannya, peranan Hendropriyono dalam tragedi Lampung yang menewaskan sekitar 250 jiwa – termasuk perempuan dan anak-anak — pada tanggal 7 Februari 1989, mulai dibongkar oleh berbagai kelompok hak asasi manusia di Indonesia. Kolonel Hendropriyono waktu itu adalah Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung yang memimpin operasi gabungan tentara, polisi, dan Angkatan Udara, ke sebuah perkampungan para migran dari Jawa, yang dicap sebagai Islam fundamentalis (Awwas 2000).Cap itu, oleh berbagai pengamat, telah dianggap terlalu berlebihan. Sebab konflik antara pemerintah dan perkampungan Islam itu, lebih berakar pada permasalahan pembebasan tanah, yang lebih jauh lagi berakar pada sejarah pembukaan daerah Lampung oleh Belanda untuk kepentingan para transmigran dari Jawa (Wertheim 1989).
Dengan mengalihkan perhatian ke Maluku, dengan cara-cara yang seolah-olah merangkul kepentingan umat Islam, Hendropriyono untuk sementara waktu berhasil mengurangi sorotan para korban tragedi Lampung.
Suaidy Marasabessy, seorang veteran dari perang Timor yang kemudian menjadi Pangdam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, yang menyetujui pengiriman pasukan Kostrad dari Makassar ke Ambon, kendati mereka secara emosional berpihak untuk menentang Ambon Kristen dan membela para migran Bugis dan Makasar di Ambon, karena didorong oleh solidaritas etnik. Sebagai konsekuensinya Marasabessy dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat dan dipromosikan menjadi Kasum TNI oleh Presiden Abdurahman Wahid.
Baik promosi Marasabessy maupun Djadja Suparman didasarkan pada rekomendasi dari Wiranto, waktu itu masih menjadi Menko Polkam. Wiranto kemudian mengangkat Marasabessy untuk mengepalai Team 19 yang terutama terdiri dari para perwira Maluku untuk mengadakan investigasi latar belakang dari kekerasan di Maluku dan menyarankan cara-cara penyelesaian persoalan itu.
Selama kedua fase konflik itu, Sudi Silalahi menjadi Pangdam Brawijaya di Jawa Timur, dan telah bertanggungjawab atas pengiriman pasukan Brawijaya – berdampingan dengan pasukan Kostrad – yang ikut meningkatkan kekerasan antaragama di Maluku. Dalam kapasitasnya sebagai Pangdam Brawijaya, ia juga membiarkan ribuan anggota Lasykar Jihad untuk berlayar dari Surabaya ke Ambon, meskipun Presiden Wahid menghimbau kepada seluruh jajaran TNI dan Polri untuk menghalanginya.
Harap diingat bahwa di awal bulan-bulan kekerasan, seluruh Kepulauan Maluku masih berada di bawah Kodam Trikora yang bermarkas di Jayapura, Papua Barat. Berarti sebenarnya Wiranto dapat mengirim pasukan Trikora dari Papua Barat ke Ambon, ketimbang mengirim pasukan dari Jawa dan Sulawesi Selatan, yang kebanyakan beragama Islam, untuk menghadapi kerusuhan di Maluku.
Baru pada tanggal 15 Mei 1999, setelah puluhan batalion tentara tersebar di Kepulauan Maluku, status Korem Pattimura ditingkatkan menjadi Kodam. Di Maluku sendiri, dua orang kolonel yang waktu itu berkedudukan di Ambon ikut mengipas-ngipas api kebencian antara orang Kristen dan Islam. Asisten Teritorial Pattimura, Kol. Budiatmo, memupuk hubungan dengan para Preman Kristen, khususnya Agus Wattimena, untuk mempertahankan kemarahan mereka terhadap para tetangga mereka yang Muslim, sementara Asisten Intelijen Kodam Pattimura, Kol. Nano Sutarno, menjaga agar api tetap menyala di kalangan perusuh Muslim.
Dua orang kolonel itu, yang sudah ditempatkan di Ambon ketika Suaidy Marasabessy menjadi Komandan Korem Pattimura, juga memiliki teman-teman di kalangan atas di Jakarta. Saudara laki-laki Nano Sutarno, Brigjen Marinir Nono Sampurno, adalah komandan pengawal keamanan Wakil Presiden Megawati. Ini membuat Megawati secara praktis “tertawan” oleh agenda militer, meskipun ia justru adalah orang yang ditugaskan Presiden Wahid untuk menyelesaikan masalah Maluku. Selain kedua orang kolonel itu, yang di akhir tahun 2000 telah dipindahkan dari Maluku, beberapa orang purnawirawan dan perwira aktif dan masih tinggal di Ambon juga memainkan peran dalam mengipas-ngipas api permusuhan antaragama. Mereka adalah Brigjen (Purn) Rustam Kastor dan Letkol (Pur) Rusdi Hasanussy.
Lahir di Ambon pada tanggal 9 Juli 1939, Rustam Kastor adalah mantan Komandan Korem Pattimura, mantan Kepala Staf Kodam Trikora (Papua Barat), dan telah ditempatkan di Markas Besar di Jakarta. Barangkali dialah yang paling tepat dijuluki sebagai ‘bapak ideologis’ dari kekerasan Maluku. Ia memberikan pembenaran ‘pseudo-ilmiah’ untuk mengundang Lasykar Jihad ke Maluku, konon untuk menyelamatkan orang Muslim dari pembinasaan yang dilakukan oleh orang-orang Maluku Kristen, dengan menuduh orang-orang Kristen mencoba menghidupkan kembali pemberontakan ‘RMS’ tahun 1950 s/d 1964. Tidak hanya Gereja Protestan Maluku, tetapi juga PDI-P Megawati Sukarnoputri cabang Maluku dituduh terlibat dalam pemberontakan itu, yang bertujuan untuk menciptakan negara Maluku yang berasas Kristen, di mana tidak ada tempat bagi orang Maluku yang beragama Islam, menurut buku Rustam Kastor (2000) yang menjadi best-seller di kalangan pendukung Lasykar Jihad di Jawa.
Sesungguhnya, teori konspirasi ini pertama kali dikemukakan pada 28 Januari 1999 dalam konperensi pers yang diorganisir oleh dua organisasi militan Muslim, KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dan PPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia). Teori konspirasi ini segera disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, seperti yang telah dijelaskan di depan. Seorang jendral purnawirawan yang lain, Feisal Tanjung, bekas Pangab dalam kabinet Soeharto dan terakhir menjabat sebagai Menko Polkam dalam kabinet Habibie, ikut menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono.
Teori ini kemudian menyebar seperti api yang membakar ranting-ranting kering setelah disiarkan oleh sebagian media massa di Indonesia, di mana singkatan RMS diplesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’. Plesetan itu mendistorsi kenyataan seolah-olah semua orang Ambon Kristen mengambil bagian dalam mendirikan gerakan kemerdekaan ini, dan seolah-olah orang Ambon Islam semuanya menolak pemberontakan itu.
Disertasi Richard Chauvel tentang pemberontakan itu (1990) menunjukkan ketidakbenaran pelesetan ‘Republik Maluku Serani’, dan bahwa RMS bukan bertujuan membentuk negara Kristen. Chauvel jelas-jelas membeberkan bagaimana salah seorang pemimpin RMS yang diperiksa oleh TNI setelah pemberontakan di Ambon berhasil ditumpas adalah Ibrahim Ohorella. Raja (kepala desa) Tulehu itu malah menjadi tuan rumah rapat-rapat persiapan proklamasi RMS, mengerahkan sebagian besar warga desanya untuk menghadiri proklamasi RMS di alun-alun kota Ambon yang dihadiri sekitar 9000 orang, dan memasok kebutuhan sagu senilai Rp 25 ribu (waktu itu) untuk makanan para serdadu Angkatan Perang RMS sebelum Tulehu diduduki oleh TNI. Sebaliknya, masyarakat Kristen di Ambon serta orang Ambon Kristen di luar Ambon juga tidak sepenuhnya mendukung proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) sendiri, bersikap netral terhadap proklamasi itu.
Seorang tokoh Ambon di Jakarta yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena, dipercayai oleh Soekarno untuk berunding dengan pencetus RMS untuk mengakhiri gerakan mereka. Setelah hampir setahun disebarkan oleh berbagai media di Indonesia, teori ini diabadikan oleh Rustam Kastor ke dalam bentuk buku (2000), yang telah menjadi paling laku, tidak hanya di lingkungan Muslim tertentu di Maluku, Jawa dan Sulawesi. Selain dari bahasa provokatifnya tentang orang Kristen, buku itu menuding aksi demonstrasi mahasiswa Ambon secara besar-besaran pada bulan November 1998, sebagai tahap ‘pematangan situasi’ bagi pemberontakan RMS yang didukung oleh GPM dan PDI-Perjuangan cabang Maluku.
Menurut Kastor, demonstrasi itu merupakan upaya yang sadar untuk memperlemah militer, sehingga mereka tidak akan dapat menghancurkan ‘pemberontakan RMS’ selanjutnya yang bertujuan untuk membersihkan Maluku dari penduduk Muslimnya. Kastor juga menuduh orang-orang Kristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa untuk menghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikian mempromosikan disintegrasi Republik dengan memisahkan provinsi-provinsi yang didominasi Kristen di Indonesia bagian Timur –termasuk Timor Lorosa’e– yang kemudian dapat membentuk negara baru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yang fantastik, karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsi Maluku yang sekarang.
Apa yang diabaikan Kastor dalam bukunya adalah kenyataan bahwa gerakan kemerdekaan Timor Lorosa’e dan Papua Barat ikut dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim setempat, seperti Mar’i Alkatiri yang kini menjadi Menteri Ekonomi dan sumberdaya Alam dalam pemerintahan transisi di Timor Lorosa’e, serta Thaha Mohamad Alhamid, Sekjen Presidium Dewan Papua yang kini sedang ditahan oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat. Alkatiri dan Alhamid tentu saja tidak berjuang untuk menciptakan suatu aliansi negara Kristen di Timur Indonesia. Di samping itu, kehendak untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah merupakan monopoli Kristen sebagaimana ditunjukkan oleh rakyat Aceh. Selain menulis buku untuk membenarkan perang antaragama di Maluku, Kastor terlibat aktif mempersiapkan kedatangan Lasykar Jihad di Maluku, dan memupuk fanatisme mereka melalui khotbah-khotbah yang membakar.
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (4)
George J. Aditjondro*
TOKOH selanjutnya, H. Rusdi Hassanusi, mungkin merupakan satu-satunya perwira polisi aktif yang memimpin sebuah cabang Majelis Ulama Indonesia. Pada bulan Juli 1999, ketua MUI Maluku itu pergi ke Makassar untuk merekrut enampuluh orang anggota Muhammadiyah dan mengapalkan mereka ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslim lokal (TPG, 1999). Secara ironis, ia kehilangan anaknya, Alfian (“Eki”) Hassanusi (10), sersan polisi yang secara fatal dilukai oleh penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei, 2000.
Dengan begitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauan di Maluku, maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapat beroperasi dengan bebas di kedua provinsi kembar itu, di mana sampai Mei 2000, 70% dari para korban di kedua belah pihak dibunuh atau dilukai dari tembakan senjata organik militer dan polisi. Pada dasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telah mengambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran itu, yakni pasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya, Kopassus dan Brimob. Keterlibatan Kopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain, yang telah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Para tentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab dan jenggot palsu sebagai ciri Lasykar Jihad, atau menggunakan kaos-kaos Lasykar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen.
Beberapa orang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimana terjadi ketika empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahan di atas kapal KM Lambelu, pada 5 Agustus 2000, kira-kira 70 orang perwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para relawan kemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbang militer Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisi perlengkapan mereka ke dalam pesawat terbang. Mereka memakai seragam loreng, lengkap dengan lencana Kopassusnya. Kehadiran para anggota Kopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para jurnalis sejak Januari 1999.
Kehadiran Kopassus di antara Lasykar Jihad dapat disimpulkan dari ketrampilan tempur mereka yang khas –seperti menembak dan melempar granat dari dalam drum minyak yang kosong yang digelindingkan oleh anggota Lasykar Jihad ketika menyerang kampus UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku)– atau dengan kelaziman dari para penembak gelap, yang sering bertindak secara tenang dan berhati-hati untuk menetapkan jumlah korban yang setara bagi kedua komunitas, dalam setiap konfrontasi antaragama. Memang tembakan kepala yang fatal tidak merupakan monopoli anggota Kopassus, dan telah dikuasai pula oleh pasukan-pasukan khusus Angkatan Darat memiliki waktu dan kesempatan yang lebih lama untuk mengembangkan keterampilan yang mematikan ini selama masa tugas mereka di Timor Lorosa’e dan berkat latihan bersama para penembak jitu SAS di Australia.
Tanpa dukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni 2000 tidak mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon, membakar asrama yang dihuni kira-kira 2.000 orang anggota Polri dan anggota keluarga mereka, menghancurkan dua gudang amunisi, dan mencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir peluru, dan lusinan seragam Brimob.
Jaringan Muslim
Berbicara tentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yang bekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untuk mengirimkan enam ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Maluku diharapkan dapat ‘membebaskan saudara laki-laki dan perempuan Muslim mereka dari para penindas Kristen mereka’.
Kebanyakan pemimpin massa yang direkrut untuk mengobarkan Jihad di Maluku berasal dari arus kaum militan Muslim baru, yang mengikuti ajaran gerakan Wahhabi. Gerakan internasional ini bertujuan untuk kembali kepada Islam dari generasi awal yang didanai oleh para anggota dinasti Saud. Gerakan itu dinamai dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abdul-Wahab (1705-1787), yang ajarannya diterapkan oleh Ibnu Saud, ketika ia mendirikan monarki Saudi pada tahun 1925. Di Indonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yang paling besar –Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah– dalam gerakan Tarbiyah, yang membentuk jamaah salaf di kalangan mahasiswa di beberapa universitas negeri yang bergengsi, seperti ITB. Tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu mereka juga dikenal sebagai gerakan ‘neo-NII’, untuk membedakan mereka dari gerakan bawah tanah yang pernah dihubungkan dengan operasi intelijen almarhum Jendral Ali Murtopo.
Seorang aktivis ‘neo NII’ adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yang mengorganisir tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000 Orang di Monumen Nasional Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000. Tabligh akbar yang menghimbau agar orang Muslim berjihad ke Ambon dihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz, mantan menteri dalam kabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet Soeharto, serta 22 organisasi Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI dan Asosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh Ongen Sangaji.
Keterlibatan dari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, Hamzah Haz, dan Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapat mereka dengan Presiden Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dirintis melalui ICMI di bawah pimpinan BJ Habibie, para politisi Islam itu mengkampanyekan “demokrasi proporsional” dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Maksudnya, karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka mereka harus mendominasi pemerintahan, tentara, parlemen, dan ekonomi Indonesia, yang menurut mereka saat itu masih didominasi oleh golongan minoritas Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000: 141-142., 147-148. 150, 212).
Sikap itu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid. Makanya ia menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim (Hefner 2000: 162). Sikap itu dilanjutkannya setelah dipilih menjadi Presiden dengan dukungan Poros Tengah, Golkar dan militer. Tak ketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri di Indonesia dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia. Berbagai ‘penyimpangan’ ini – di mata para politisi Poros Tengah, Golkar dan militer – mendorong munculnya aliansi untuk mendongkel Wahid dari kursi kepresidenannya dengan antara lain menggunakan kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.
Kembali ke mereka yang bergerak di garis depan, patut digarisbawahi bahwa komandan Lasykar Jihad di Maluku, Ustadz Ja’far Umar Thalib, juga berasal dari gerakan Wahhabi. Ia adalah imam gerakan Salafi di Indonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Alumnus pesantren Persis di Bangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan, dan dari sana bergabung dengan gerilyawan Taliban di Afghanistan (1987-1989). Keterlibatan Lasykar Jihad berperang melawan kaum Kristen di Maluku itu karena turunnya sebuah fatwa, awal 2000 yang lalu, dari salah seorang Imam Salafi di Yaman yaitu Syaikh Muqbil Bin Had Al Wadi’. Fatwa itu dikeluarkan khusus untuk berjihad di Maluku, tidak di seluruh Indonesia.
Di Maluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara Lasykar Jihad dan Partai Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. Abdi Sumaiti alias Abu Rido. Mantan dosen agama Islam ITB itu, yang kini Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan, pernah kuliah di Universitas Madinah, di mana ia bergabung dengan gerakan Wahhabi. Abu Rido juga menentang sekte-sekte Islam lain yang dirasakannya tidak mengajarkan doktrin yang benar. Majalah Sabili yang dimulainya ketika gerakan ‘neo-NII’-nya masih di bawah tanah, merupakan salah satu corong Lasykar Jihad.
Sementara itu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjata tidak hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militan Muslim ini juga menikmati dukungan diam-diam dari berbagai faksi di Polri dan Angkatan Laut. Meskipun Presiden Wahid memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mencegah pasukan Lasykar Jihad meninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur waktu itu, Mayjen Da’i Bahtiar, membiarkan saja mereka berlayar dengan kapal Pelni, KM Rinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini barangkali ada hubungannya dengan pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja’far Umar Thalib, yang mengklaim punya ‘hotline’ langsung ke Panglima TNI, Laksamana Widodo (Fealy 2001).
Kenyataannya, para anggota Lasykar Jihad juga dibiarkan mengapalkan senjata mereka dengan kapal lain, KM Tanto Sakti, yang disembunyikan dalam kotak-kotak sabun dalam 200 buah peti kemas, yang mencapai Ambon setelah kedatangan pasukan itu. Di Ambon, aparat keamanan membiarkan saja peti-peti kemas penuh senjata itu diturunkan di pelabuhan Yos Sudarso yang dikuasai komunitas Muslim di Waihoang, bukan di pelabuhan Angkatan Laut di Halong.
Agenda Militer
Dilihat dari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku, penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu, keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihak yang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, di mana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkan diselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku, orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwa yang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogue elements). Makanya, penjelasan mengenai kerusuhan yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-kepentingan militer yang lebih sistemik.
Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku (5)
George J. Aditjondro*
DENGAN menganalisis data dan mengkaji cara berfikir dan operasi militer, dapatlah dikatakan bahwa ada lima agenda militer dalam melanggengkan konflik di Maluku. Agenda yang pertama dan paling langsung adalah membalas oposisi para mahasiswa terhadap dwifungsi ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi konflik horisontal; agenda yang kedua adalah mempertahankan konsep Wawasan Nusantara; agenda yang ketiga adalah mempertahankan struktur teritorial TNI, khususnya Angkatan Darat; agenda yang keempat adalah mempertahankan kepentingan bisnis militer; sedangkan agenda yang kelima yang tidak kalah pentingnya ketimbang semua agenda di atas adalah mencegah pemeriksaan dan peradilan para perwira tinggi dan purnawirawan ABRI yang dituduh terlibat kejahatan korupsi serta pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Pertama-tama, pemicuan konflik horisontal di Maluku dan di tempat-tempat lain di Indonesia sengaja dilakukan oleh militer untuk membelokkan perhatian jauh dari tuntutan para mahasiswa untuk penghapusan dwifungsi ABRI. Ini telah dicapai, tidak hanya dengan penghancuran dua kampus di mana para mahasiswanya berada di front depan dalam gerakan reformasi di Maluku, tetapi juga dengan menimbulkan perpecahan agama antara para mahasiswa Muslim dan Kristen di provinsi itu, dan dalam tingkat tertentu, di Indonesia pada umumnya.
Kedua, penarikan diri aparatur negara Indonesia secara terpaksa dari Timor Lorosa’e telah meninggalkan satu lubang yang rawan dalam rantai pertahanan di wilayah Indonesia timur. Menurut doktrin pertahanan TNI yang dikenal dengan istilah Wawasan Nusantara, pulau-pulau berpenduduk berfungsi untuk membentengi laut pedalaman (territorial sea), dalam hal ini Laut Banda.
Maka, dengan lepasnya Timor Lorosa’e, di mata TNI rantai kepulauan untuk pertahanan negara di kawasan timur Indonesia telah diperlemah secara serius. Maluku, yang terletak di sebelah utara Timor Lorosa’e, secara langsung berhadapan dengan ancaman potensial dari Selatan, khususnya ancaman yang dirasakan oleh TNI dengan kehadiran ribuan pasukan PBB, yang didominasi oleh angkatan bersenjata Australia, di Timor Lorosa’e.
Selain dari putusnya rantai pertahanan geo-strategis akibat lepasnya setengah pulau Timor dari wilayah NKRI, sebagian besar penduduk Kristen di Maluku dipandang kurang dapat dipercaya di mata militer untuk mempertahankan sisi Tenggara NKRI, karena diyakini bahwa mereka mungkin memiliki kecenderungan separatis yang sama sebagaimana rakyat Timor Lorosa’e yang mayoritas beragama Katolik.
Dari sudut militer perlu penyesuaian demografik strategik di Maluku berupa pengiriman ribuan anggota Lasykar Jihad yang akhirnya diharapkan menetap di kepulauan itu dengan membawa keluarga mereka dari Jawa dan pulau-pulau lain. Pertukaran penduduk Maluku itu diharapkan dapat mencegah Maluku dari mengikuti contoh Timor Lorosa’e untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agenda militer yang ketiga, yakni mempertahankan struktur teritorial TNI, dapat ditunjukkan dari keputusan Jendral Wiranto meningkatkan Korem Pattimura menjadi Kodam, sehingga dengan demikian membenarkan penempatan pasukan yang lebih banyak di Maluku. Untuk mengklarifikasi hal ini, kita perlu memahami struktur territorial Angkatan Darat, di mana garis komando terentang dari Kepala Staf Angkatan Darat ke Panglima Kodam, dengan komandannya adalah jendral berbintang dua.
Setiap Kodam terdiri dari empat sampai enam Korem yang dikepalai oleh seorang kolonel. Di bawah Korem adalah Kodim yang dikepalai oleh letnan kolonel. Setiap Kodam memiliki sejumlah batalyon yang mewakili spesialisasi pelayanan yang berbeda-beda di dalam Angkatan Darat. Batalyon-batalyon yang dikomandani oleh seorang mayor atau letnal kolonel itu merupakan tulang punggung struktur teritorial Angkatan Darat. Akhirnya, di samping unit-unit yang berdasarkan wilayah ada batalyon-batalyon dengan kemampuan tempur khusus, yakni Kopassus dan Kostrad.
Di bawah Panglima Angkatan Bersenjata Jendral Wiranto, Angkatan Darat merencanakan untuk membangun kembali tujuh belas Kodam, yang oleh pendahulunya, Jendral Benny Murdani, telah dikurangi menjadi sepuluh. Menurut rencana Wiranto, selain dari menghidupkan kembali Kodam Pattimura yang lama, Kodam-Kodam lain yang pernah ada antara tahun 1958 dan 1985 juga akan dihidupkan kembali.
Untuk menemukan dasar pemikiran dalam menciptakan kembali komando-komando daerah militer yang terbengkalai perlu ditunjukkan bahwa pasukan-pasukan itu dibutuhkan untuk menghadapi keresahan di wilayah-wilayah itu. Lalu, setelah pasukan itu disebarkan, mereka perlu ditempatkan secara permanen di sana. Dengan kata lain, untuk membenarkan kehadiran para pemadam kebakaran itu, maka kebakaran harus ditimbulkan.
Pentingnya struktur teritorial ini tidak dapat diremehkan, karena inilah tulang punggung militer untuk melaksanakan fungsinya sebagai kekuatan politik, di samping fungsinya sebagai kekuatan pertahanan, yang dikenal dengan doktrin ‘dwifungsi ABRI’. Struktur teritorial ini sejajar dengan struktur pemerintah, semacam negara di dalam negara, di mana instruksi mengalir dari puncak (ibu kota nasional) ke dasar (kecamatan), sementara uang suap untuk memudahkan promosi sebaliknya mengalir dari dasar ke puncak.
Berbicara tentang uang suap adalah berbicara tentang agenda keempat dalam melanggengkan kekerasan di Maluku, yakni untuk mempertahankan kepentingan ekonomi militer. Ada perwira aktif maupun purnawirawan yang merasa terancam oleh prospek desentralisasi. Jika rencana otonomi daerah dan pembangian pendapatan daerah mulai diwujudkan tahun ini, maka parlemen-parlemen daerah akan memiliki kekuasaan untuk membatalkan atau menolak untuk memperbaharui kontrak yang menguntungkan perusahaan yang didukung militer di bidang perikanan, kehutanan dan pertambangan. Kerusuhan-kerusuhan di daerah akan menunda kerugian-kerugian semacam itu.
Maluku sesungguhnya sarat dengan kepentingan bisnis militer, yang sebagian besar diperoleh dari konglomerat yang beroperasi di Maluku. Kepentingan ekonomi ini juga tidak terbatas pada Angkatan Darat, tetapi juga pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara. PT Green Delta, adalah sebuah Perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan Udara, yang memasok kayu glondongan dari konsesi mereka seluas 74.000 hektar di pulau Morotai untuk penggergajian perusahaan Barito Pasific di pulau lain di Maluku Utara.
Memang, Maluku bukan satu-satunya wilayah yang sarat kepentingan bisnis militer, karena ini merupakan fenomena yang berlingkup nasional. Soalnya, sekitar 75 persen dari pengeluaran militer diperoleh dari bisnis Militer dan cara-cara lain. Kegiatan penghimpunan dana ini biasanya tidak Tunduk pada penelitian publik yang cermat: para komandan militer memiliki Akses terhadap sejumlah besar uang yang dapat digunakan untuk membiayai manuver-manuver politik di masa depan. Skandal korupsi Rp 189 milyar rupiah di Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang berhasil dibeberkan oleh Letjen Agus Wirahadikusumah, hanyalah merupakan puncak gunung es. Setelah membeberkan skandal itu, Wirahadikusumah serta merta digeser dari jabatannya sebagai Pangkostrad.
Celakanya bagi rakyat kecil di Maluku, ketika kekerasan di sana sudah memperoleh momentumnya sendiri, pasukan yang tersebar di Maluku mulai menemukan caranya untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. Di Ambon, para serdadu memberikan ‘jasa perlindungan’ bagi pengusaha dan orang-orang yang harus melewati rute-rute berbahaya, misalnya melalui desa-desa yang sedang berperang atau dari dan ke pelabuhan udara dan pelabuhan laut.
Anggota Batalyon 321 Kostrad dilaporkan menyerang tiga bank di Ambon pada hari Minggu, 16 Juli, 2000, dan menganiaya satpam bank-bank itu, ketika mereka tidak diberi kunci tempat penyimpanan uang kontan. Di Maluku Utara, serdadu Brawijaya mencuri kelapa dari para petani Muslim, dan memaksa para pekerja Kristen untuk mrmproduksi kopra yang akan diekspor oleh para serdadu ke Manado. Dan di kedua provinsi, militer menjadi sumber utama mengenai persenjataan dan amunisi bagi kedua belah pihak yang berperang. Mereka juga menjadi penembak bayaran bagi siapa yang memberikan upah paling tinggi.
Akhirnya, agenda militer yang kelima didasarkan pada observasi bahwa pertempuran di Maluku sering berkobar kembali manakala interogasi terhadap mantan Presiden Soeharto mengenai korupsinya, atau interogasi terhadap mantan Jendral Wiranto mengenai perannya dalam kekerasan pasca referendum di Timor Lorosa’e sedang dijalankan. Celakanya, militer tidak tampak ingin mengurangi peran mereka. Sebaliknya, Pangdam Pattimura, Brigjen I Made Yasa secara terbuka menyatakan bahwa TNI sedang mempertimbangkan untuk membentuk Kodim-Kodim baru untuk dua kabupaten baru di Buru dan Maluku Tenggara Barat.
Kesimpulan & Saran-saran
Kekerasan antaragama yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku dimatangkan dan dipertahankan oleh jaringan militer yang didukung oleh sebagian politisi Poros Tengah. Jaringan militer dan kaum militan Muslim yang jalin-menjalin ini mengeksploitasi etno-religius yang membara di Maluku, dengan menggunakan preman Ambon untuk memicu kekerasan komunal, dan kemudian menyebarkan ribuan militan Muslim setelah pertempuran internal di Maluku agak mereda. Dalam fase konflik ini, sifat kekerasan beralih dari konflik antardesa menjadi perang terbuka, di mana desa-desa Kristen harus mempertahankan diri dari serangan ribuan anggota Lasykar Jihad, yang secara terbuka didukung pula oleh militer aktif.
Situasi ini paralel dengan perang antara pejuang pro-kemerdekaan dan milisi pro-Indonesia yang didukung oleh TNI dan Polri, sebelum dan sesudah referendum yang diawasi PBB di Timor Lorosa’e. Sementara di Timor Lorosa’e ABRI memilih untuk mendukung kekuatan paramiliter Timor Lorosa’e yang beragama Katolik, di Aceh mereka berkolaborasi dengan mantan gerilyawan Aceh, sedang di Maluku militer memilih untuk bekerjasama dengan kaum militan Muslim yang didatangkan dari Jawa dan kepulauan lain.
Kerusuhan sosial di Maluku memenuhi beberapa tujuan strategis dari ABRI, yang pada akhirnya bermaksud mengkonsolidasikan kekuasaan politik dan ekonomi mereka, yang sedang terancam oleh gerakan reformasi serta desentralisasi politik ke daerah-daerah. Mungkin sekali bahwa Lasykar Jihad dan para politisi pendukung mereka di DPR menyadari sifat ‘sementara’ dari aliansi taktis mereka dengan tentara, dan sedang mencoba untuk memanfaatkan aliansi ini demi keuntungan mereka, dengan menggunakan keresahan di Maluku untuk memperlemah kemampuan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soe
karnoputri. Namun sesungguhnya, kartu terakhir masih berada di tangan militer, sebagaimana dibuktikan dalam Sidang Tahunan MPR di mana jangka waktu fraksi TNI/Polri bukannya diperpendek, melainkan diperpanjang lima tahun lagi.
Dengan mempertimbangkan bahwa rezim di Jakarta telah dibajak oleh kekuatan yang menolak mengakhiri kekerasan di Kepulauan Maluku, tampaknya tidak ada pilihan lain selain menggunakan tekanan internasional terhadap Pemerintah Indonesia –khususnya terhadap ABRI dan para pendukung mereka di DPR– oleh PBB dan semua badan terkait, termasuk Komisi HAM di Jenewa dan Dewan Keamanan di New York, untuk mengakhiri penderitaan rakyat di provinsi kembar Maluku dan Maluku Utara.
Tekanan politik ini harus dibarengi dengan tekanan terhadap sumber-sumber keuangan militer Indonesia, untuk mengurangi kemampuan ABRI mengadudomba rakyat sipil di wilayah-wilayah yang jauh dari Jakarta, dari Aceh sampai ke Maluku dan Papua Barat.
*George Junus Aditjondro, seorang jurnalis –di Majalah Tempo– yang kemudian menjadi seorang akademisi. Menulis serial buku “Gurita Cikeas”.
Subscribe to:
Posts (Atom)